Dibalik Tokoh Uang Sepuluh Ribu, Ada Kisah Heroik yang Tak Terlupakan
Foto: istimewaPapua terus menjadi sorotan publik nasional dan internasional, walau sayangnya yang kini lebih banyak disorot adalah kerusuhannya maupun kasus provokasi yang memicu kerusuhan.
Sebagian publik bahkan kurang peduli mengenai sejarah Papua sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, malah hanyut dengan hasutan-hasutan miring bahwa Papua ingin pisah untuk bentuk negara sendiri.
Begitu mudahnya menyebarkan informasi di media sosial, sehingga muncullah beragam hoax atau informasi sesat bahwa Indonesia seolah-olah "menjajah" Papua, atau Papua cuma "dititipkan" oleh PBB kepada Indonesia sejak 1963 untuk mengatasi konflik bersenjata dengan penjajah Belanda, atau cuma klaim sepihak mendiang Presiden Soekarno.
Namanya juga hoax, itu semua tidak benar. Bila ada yang ingin menyisihkan sebagian waktunya untuk mencari tahu yang sebenarnya, ada literasi-literasi sejarah yang mencatat jasa orang-orang Papua sendiri untuk lepas dari penjajahan Belanda sekaligus bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 1945.
Salah satu referensi yang menarik disimak adalah serial buku berjudul Mengindonesiakan Indonesia karya Harry Kawilarang (2011), buku terdiri dari 12 volume yang menjabarkan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia selama 1900-1958.
Dalam buku volume 8 serial itu dijelaskan juga mengenai sejarah perjuangan Bangsa Papua dalam melepaskan diri dari penjajahan Belanda sekaligus ingin bergabung kepada pangkuan NKRI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Perjuangan mereka ini terjadi jauh sebelum kontak senjata antara pasukan Republik Indonesia dan tentara Belanda dalam membebaskan Papua dari cengkeraman penjajah pada awal 1960-an.
Mereka melawan dengan berbagai cara, dari membuat pamflet, mendirikan partai-partai politik, mengibarkan Bendera Merah Putih, memobilisasi massa hingga melancarkan perlawanan bersenjata. Berkali-kali gagal, mereka terus mencoba.
Perlawanan orang-orang Papua itu juga tak lepas dari peran pejuang-pejuang pro kemerdekaan RI, yang menjadi tawanan Belanda di Boven Digoel, wilayah hutan lebat yang didirikan suatu kamp penjara di wilayah pedalaman ujung tenggara Papua, yang berbatasan dengan Papua Nugini di sebelah timur. Sebut saja GSSJ Ratulangi, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta dan lain-lain.
Mereka, walau dibuang ke penjara di tengah hutan belantara seperti Boven Digoel, justru turut menularkan semangat kemerdekaan bagi putra-putra asli Papua. Para "lulusan" penjara alam Boven Digoel inilah yang populer dengan sebutan Kaum Digulis.
Papua, yang diklaim Belanda sejak 24 Agustus 1828 sebagai wilayahnya, turut bergolak setelah berita proklamasi kemerdekaan RI.
Berita itu disampaikan oleh dua tokoh muda saat itu, Des Alwi dan Jusuf Ronodipoero melalui kantor berita Domei.
Kaum Digulis, para tokoh muda maupun kaum intelektual yang ditahan Belanda di pedalaman Boven Digoel karena dianggap memberontak, kembali bergairah karena perjuangan mereka tidak sia-sia.
Begitu pula para pemuda Papua yang merasa ini momen yang tepat untuk lepas dari penjajahan.
Mereka pun dengan bersemangat membuat pamflet dan brosur-brosur kemerdekaan Indonesia yang disebarkan ke penjuru Papua dari Kota Merauke. Bahkan kegiatan mereka itu juga sampai ke Australia.
Pengibaran Merah Putih
Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang pejabat Belanda di Papua, disebut-sebut bahkan turut memberi dorongan kepada Kaum Digulis untuk menjalankan gerakan bawah tanah dalam rangka merebut Papua untuk NKRI.
Tindakan itu terlihat pada 31 Agustus 1945, saat Abdulkadir dan para pembantunya sedang mempersiapkan perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina, di Hollandia (Jayapura).
Saat itu rakyat setempat diperintahkan mengibarkan bendera Belanda, yaitu Merah Putih Biru.
Namun, yang dinaikkan setiang penuh justru bendera Indonesia, Merah Putih, sedangkan Bendera Belanda hanya dikibarkan setengah tiang.
Abdulkadir ini menjadi tokoh kontroversial dan masih diperdebatkan hingga kini. Beberapa referensi menyebut Abdulkadir ini sebagai antek Belanda karena bekerja mewakili kepentingan Belanda.
Dia pun dikenal sebagai utusan Belanda dalam Perjanjian Renville 1948, yang menghasilkan kesepakatan gencatan senjata dengan Indonesia.
Sejarawan PJ Drooglever dalam buku berjudul Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (2010) mengungkapkan Abdulkadir adalah pejabat militer Belanda (NICA) di Papua awal 1945.
Abdulkadir, menurut Drooglever, malah memilih sebagai pejabat Belanda ketimbang bergabung kepada pemerintah Republik Indonesia.
Tak jelas apakah ada peran Abdulkadir dalam "insiden" pengibaran bendera Merah Putih itu, yang jelas, menurut buku Harry Kawilarang, otaknya adalah seorang bekas Digulis, yaitu Soegoro Atmoprasodjo.
Dia adalah anggota Taman Siswa yang diangkat Abdulkadir sebagai Direktur Sekolah Pemerintahan (Bestuur School) di Hollandia, kini bernama Jayapura.
Di sekolah itu, dia mengajar sejarah nusantara kepada murid-murid pribumi dari berbagai daerah. Ada beberapa yang menonjol, di antaranya Silas Papare dan Marthen Indey. Silas kelahiran Serui sedangkan Marthen putra asal Doromena.
Atas pengaruh pengajaran nasionalisme Indonesia dari Soegoro, Silas merencanakan pemberontakan untuk mengusir Belanda dari Tanah Papua pada 25 Desember 1945.
Sayang, rencana itu keburu ketahuan Belanda, yang mendatangkan kekuatan militer dari Kota Rabaul, Papua Nugini.
Walhasil, 250 orang ditangkap. Mereka termasuk Silas, Marthen dan Soegoro yang dianggap "provokator". Cuma tiga orang ini yang dihukum penjara, sementara yang lain bebas.
Penjara tidak membuat mereka kapok. Justru malah makin termotivasti berkat dukungan dari Kaum Digulis, salah satunya Panggoeang Alam.
Bebas dari penjara, Marthen berupaya mempengaruhi "Batalyon Papua" yaitu sekelompok tentara Belanda yang dipimpin oleh Kapten de Bruin.
Ketika itu Belanda tengah berkonsentrasi melatih tentara yang di Papua dalam rangka persiapan dikirim ke Pulau Jawa untuk agresi militer.
Momen ini coba dimanfaatkan oleh Panggoeang Alam bersama kawan-kawan untuk menyerang Belada pada 1 Juli 1946. Namun rencana serangan ini bocor dan Belanda berhasil menangkap para gembongnya.
Sementara itu, Silas Papare yang tadinya bekerja sebagai jururawat di Jayapura dipindahtugaskan oleh Residen Jan van Eechoud ke Serui. Di tanah kelahirannya itulah Silas bertemu dengan GSSJ Ratulangi.
Dia saat itu tak lama diangkat Soekarno-Hatta sebagai Gubernur Sulawesi, namun malah ditangkap Belanda dan diasingkan ke Serui, Papua, bersama dengan keluarga dan para stafnya.
Di Serui, Semangat Sam Ratulangi tak pernah surut dan tekad Silas Papare makin membara dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Ratulangi terus memberi motivasi nasionalisme dalam melawan kolonialisme Belanda kepada Silas sambil mendidik dan memberdayakan masyarakat setempat.
Menurut Onnie Lumintang dalam Biografi Pahlawan Nasional: Marthin Indey dan Silas Papare (1997), Ratulangi pun terlibat dalam pembentukan Partai Kemerdekaan Irian Indonesia yang dipimpin oleh Silas Papare, dengan Ratulangi sebagai penasihat.
Sebagai putra daerah, tak sulit pula bagi Silas untuk memobilisasi kekuatan dengan masyarakat Serui.
Setelah mengalami dan melawan ganasnya pasukan penjajahan Jepang selama Perang Dunia Kedua, masyarakat Serui di bawah pimpinan Silas ini pun bersiap melawan Belanda lewat Gerakan Papare.
Di tempat lain, kaum Digulis di Australia mendirikan wadah perjuangan, yaitu Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada 29 September 1946 di Kota Melbourne.
Sebulan kemudian seorang dokter di Jayapura, Dr JA Gerungan, bersama Subroto, Latuperisa, dan dua orang Papua lainnya, yaitu Corinus Krey dan Marthen Indey mendirikan cabang KIM di Jayapura.
Sebelumnya, ada pula Partai Indonesia Merdeka (PIM) yang didirikan pada 10 Agustus 1946 di Biak oleh Lukas Rumkoren, jebolan pendidikan Belanda, bersama Petrus Warikar dan Corinus Krey.
Berlanjut pula dengan pendirian cabang KIM di Manokwari yang dikoordinir oleh Sudarsono, Suprapto, dan DLT Betay.
Pendirian partai-partai ini untuk menyebarkan informasi dan pemahaman kepada rakyat di Papua mengenai kebencian terhadap kolonialisme Belanda dan menerima Republik Indonesia yang baru didirikan dan disebarkan ke pelosok Tanah Papua.
Penyebaran informasi ini juga dilakukan lewat berbagai perusahaan perkapalan yang sangat efektif.
Cara tersebut juga memperluas gerakan bawah tanah Kaum Republik, terutama dengan dukungan Kaum Digulis.
Pembentukan partai-partai maupun kelompok-kelompok bawah tanah ini kian menarik minat kaum muda maupun masyarakat intelektual Papua. Tak terkecuali Frans Kaisiepo dan John Ariks.
Mereka pun bergabung dengan gerakan perlawanan anti-Belanda yang dilancarkan Silas Papare dengan dukungan Sam Ratulangi lewat Partai Kemerdekaan Irian Indonesia (PKII).
Ganti Jadi Irian
Mereka pun hadir dalam dalam peringatan Proklamasi dengan upacara penaikan bendera Merah Putih di Serui pada 17 Agustus 1947, yang dipimpin langsung oleh Silas Papare dan dhadiri oleh kaum intelektual Papua lainnya, seperti Lodewijk dan Barent Mandacan, Samuel Demianus Kawab, Albert Karubui, dan lain-lain. Upacara mereka ini ternyata membuat Belanda gusar.
Apalagi di acara itu muncul tokoh-tokoh perlawanan yang selama ini dicari-cari Belanda, termasuk Kaisiepo.
Dia ini yang mencetuskan agar nama Papua diganti menjadi Irian saat menghadiri konferensi Malino pada 16-24 Juli 1946.
Dalam buku Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri karya Pieter Drooglever, disebutkan alasan Kaisiepo menggagas perubahan nama dari Papua menjadi Irian.
Kaisiepo menggagas penggunaan kata Irian, yang berasal dari bahasa pulau Biak, artinya "panas."
Para pelaut Biak saat berlayar menuju Papua biasanya mengharapkan panas matahari agar kabut yang menyelimuti daratan Papua langsung hilang.
Secara filosofis, bagi Kaisiepo, Irian bisa diartikan sebagai cahaya yang menaklukkan kegelapan.
Bagi kaum nasionalis yang mendukung Kaisiepo, Irian diplesetkan menjadi akronim yang pas, yaitu "Ikut Republik Indonesia Anti-Nederland".
Bagi Belanda, ulah Silas Papare, Frans Kaisiepo dan kawan-kawan ini sudah subversif, dengan menggelar upacara peringatan kemerdekaan Indonesia, yaing tidak diakui Belanda.
Usai upacara kontroversial itu, Silas Papare dan kawan-kawan ditangkap Belanda dan dipenjara selama beberapa bulan di Biak.
Namun Silas dan keluarga akhirnya berhasil lolos dan bisa keluar ke Papua, yaitu ke Yogyakarta dan di sana menggalang perjuangan bagi bangsa Papua untuk merdeka dan bergabung dengan NKRI dengan dukungan Presiden Soekarno.
Sedangkan Frans Kaisiepo dan para pemuda Papua lainnya tetap menggalang perjuangan bawah tanah di Papua. Lanjutan sepak terjang Kaisiepo ini simpang siur.
Ada referensi yang menyatakan dia berhasil ditangkap Belanda dan dipenjarakan selama 1954-1961.
Namun referensi lain menyebut Kaisiepo sengaja "dibuang" ke wilayah-wilayah terpencil, seperti Fak-fak, Mimika, Sorong, dan lain-lain. Walau berjauhan, perjuangan mereka tidak pernah surut.
Walau sebagai tokoh-tokoh intelektual dan pimpinan mereka sudah ada yang ditangkap Belanda, gerakan bawah tanah dan pergolakan bersenjata di Papua terus berlanjut.
Salah satu yang terkenal adalah pemberontakan yang digalang PKII pada 14 Maret 1948 di Biak.
Otaknya adalah Stevanus Josef, sekretaris PKII. Dia bersama Petro Jandi dan Henok Rumbrar menggunakan senjata-senjata peninggalan Perang Dunia Kedua untuk menyerang kamp militer Belanda dan gudang-gudang senjata.
Melibatkan 40 orang bersenjata dan masyarakat setempat yang bermodalkan senjata tradisional, mereka sempat menyerang stasion radio setempat dan seorang sersan Belanda terbunuh.
Namun, karena rencana pemberontakan ini sudah tercium, Belanda pun secara cepat mengerahkan bantuan dari Jayapura.
Pemberontakan bisa dengan cepat dipadamkan. Para gembongnya ditangkap. Stevanus Josef dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sedangkan Henok Rumbrar 9 tahun penjara. Namun, Petro Jadi dijatuhi vonis yang lebih berat, yaitu hukuman mati.
Melawan Ketidakadilan
Sebenarnya, tulis Harry Kawilarang dalam bukunya, perjuangan yang dilakukan para putra Papua bukan semata demi bergabung ke Indonesia.
Prioritas mereka sebenarnya adalah mendorong unsur-unsur pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan masyarakat pribumi.
Mereka tidak tahan dengan ketidak adilan dan kesengsaraan yang dilakukan penjajah Belanda.
Seperti yang disaksikan oleh M Rumagesang Al Alam Ugar Sekar, seorang pemimpin di Kokas, Fakfak. Dia melihat dampak perusahaan Colijn asal Belanda yang melakukan eksplorasi di daerah Kokas.
Rakyat setempat hanya mendapat kesengsaraan dan kemelaratan dengan upah yang sangat rendah, walau harus bekerja sepanjang waktu demi perusahaan asing itu.
Rumagesang melaporkan situasi ini kepada Kontrolir G Terwijk dengan mengatakan bahwa kekayaan yang mereka keruk adalah milik rakyat.
Laporan tak digubris, Raja Rumagesang pun melancarkan perlawanan bersama rakyatnya.
Pada 1 Maret 1948, dia memerintahkan rakyat untuk menurunkan bendera Belanda hingga terjadi perlawanan fisik.
Belanda mendatangkan pasukan dari Sorong sehingga bisa mengatasi kontak senjata.
Rumagesang ditangkap dan dipenjara 15 tahun. Awalnya dia dipenjara di Sorong, tapi akhirnya dipindahkan ke Nusakambangan di Jawa hingga 1950.
Redaktur: Fiter Bagus
Penulis: Zulfikar Ali Husen
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Ini Solusi Ampuh untuk Atasi Kulit Gatal Eksim yang Sering Kambuh
- 2 Kenakan Tarif Impor untuk Menutup Defisit Anggaran
- 3 Penyakit Kulit Kambuh Terus? Mungkin Delapan Makanan Ini Penyebabnya
- 4 Perkuat Implementasi ESG, Bank BJB Dorong Pertumbuhan Bisnis Berkelanjutan
- 5 Jangan Masukkan Mi Instan dalam Program Makan Siang Gratis
Berita Terkini
- Enam Mobil Hanyut saat Banjir Bandang Landa Kawasan Palabuhanratu, Sukabumi
- Maudy Ayunda Ajak Iwan Fals Berkolaborasi dalam Lagu "Puisi Kota"
- Swacam Tanpa Ribet, 10% Warga Jakarta Telah Membuktikan
- Akhirnya… , Reog Ponorogo Berhasil Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO
- Presiden Prabowo: Muhammadiyah Contoh Kehidupan Inklusif dan Toleran