Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pembangunan Ekonomi I Kontribusi Manufaktur terhadap PDB Terus Menurun

Deindustrialisasi Dini, Sinyal RI Terkontaminasi "Dutch Disease"

Foto : Sumber: BPS - KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Indonesia belum menjadi negara maju, tapi kontribusi sektor industri manufaktur ke PDB sudah turun.

» Fenomena "Dutch Disease" bukan baru kali ini saja dialami Indonesia. Sudah sejak lama, Indonesia menikmati harga komoditas.

JAKARTA - Indonesia dinilai sudah mulai tertular penyakit Belanda atau "Dutch Disease". Hal itu ditandai dengan deindustrialisasi dini sehingga kontribusi manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menurun.

Deputi bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas, Amalia Adininggar Widyasanti, di Jakarta, baru-baru ini mengatakan Indonesia terlena dengan booming harga komoditas atau yang biasa disebut "Dutch Disease".

Saking terlenanya pada harga komoditas, akhirnya industri yang tadinya dibangun di mana-mana untuk menarik investasi dan membuka lapangan kerja sehingga meningkatkan pendapatan penduduk pada akhirnya terbengkalai.

"Kita terlena dengan yang biasa disebut 'Dutch Disease', sehingga kemudian terjadilah deindustrialisasi dini," kata Amalia.

Akibatnya, industri manufaktur tidak berkembang sehingga kontribusinya terhadap PDB turun drastis secara konsisten pada periode 2002 dari saat itu kontribusinya 32 persen menjadi hanya 18,3 persen pada 2022 lalu.

"Artinya, kita belum mencapai negara maju, tapi sektor industri manufaktur kontribusinya ke PDB sudah turun," kata Amalia.

Sebagai informasi, istilah "Dutch Disease" atau penyakit Belanda pertama kali dicetuskan The Economist pada 1977 untuk menggambarkan situasi ekonomi Belanda yang anomali. Anomali itu dapat ditarik mundur ke tahun 1959. Kala itu, Belanda berhasil menemukan cadangan gas terbesar di Eropa yang membuatnya masif melakukan eksplorasi dan ekspor besar-besaran.

Selama proses itu, Belanda mendapat keuntungan luar biasa, terlebih saat dekade 1970-an. Namun di balik itu semua, ada malapetaka yang terjadi. Masifnya ekspor membuat mata uang Belanda, gulden, menguat.

Penguatan itu perlahan membuat sektor manufaktur melemah yang berujung banyaknya industri bangkrut sehingga terjadi deindustrialisasi. The Economist melahirkan istilah "Dutch Disease" yang secara terminologi disebut sebagai pelemahan sektor ekonomi tertentu, salah satunya manufaktur, sebagai imbas booming sektor ekonomi lain yang biasanya berasal dari sumber daya alam atau produksi tanaman komoditas.

Penyakit ini hampir menyerang Indonesia pada dekade 1970-an atau saat terjadi boaoming minyak. Saat itu sudah ada tanda-tanda khas "Dutch Disease", yang menurut Boediono dalam Ekonomi Indonesia dalam Lintasan Sejarah (2016), terlihat jelas dari komposisi PDB dan ekspor.

Beruntung, Menteri Ekonomi, Ali Wardhana, saat itu berhasil membuat Indonesia terhindar dari penyakit tersebut. Anwar Nasution dalam A Tribute to Ali Wardhana (2015) menyebut, caranya dengan mengalihkan keuntungan hasil ekspor minyak untuk membangun sektor pertanian, perbaikan infrastruktur, pembangunan sekolah dan fasilitas kesehatan, serta untuk program kesejahteraan lain.

Sudah Lama

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Rizal Edi Halim, mengatakan fenomena ini bukan baru kali ini saja dialami Indonesia. Sudah sejak lama, Indonesia menikmati harga komoditas, seperti batu bara, nikel, dan komoditas perkebunan dan perikanan.

"Semua langsung kita ekspor karena harga-harganya di pasar global menjanjikan. Pada saat yang sama, kita tidak memikirkan industrialisasinya," jelas Rizal.

Seandainya bahan baku dari sumber daya alam itu bisa diolah maka yang semula nilainya 1.000 misalnya, bisa meningkat dua kali, tiga kali, empat kali bahkan bisa 10 kali lipat melalui proses industrialisasi. Nilai tambahnya akan lebih baik, tapi itu yang tidak terjadi.

"Kalau disebut kita sudah deindustrialisasi bukan sekarang, sebenarnya sudah lama industrialisasi manufaktur kita tidak jalan karena terlena menikmati harga-harga komoditas yang tinggi," tegasnya.

Secara terpisah, pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan untuk sembuh dari kondisi yang disebut "Dutch Disease" tersebut, mau tidak mau pemerintah harus mewujudkan hilirisasi hasil tambang dan manufakturisasi industri substitusi impor.

"Banyak keuntungan dengan hilirisasi karena dapat mengatasi persoalan pengangguran, serta sebagai upaya memperbaiki kinerja neraca perdagangan yang selama ini selalu defisit. Dengan manufakturisasi nilai tambahnya lebih besar, dibanding jika lebih ke arah sumber daya alam," kata Wibisono.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top