Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Deforestasi

Deforestasi Dapat Sebabkan Penyebaran Penyakit Zoonosis

Foto : Daniel Beltrá/Greenpeace
A   A   A   Pengaturan Font

Alih fungsi lahan, deforestasi, dan perubahan iklim membuat manusia semakin rentan terhadap virus baru. Penyakit zoonosis yang menjangkiti populasi kecil di India yang tidak ditangani dengan baik, berisiko menyebar ke populasi yang lebih luas.

Suatu malam di awal tahun 2019, Suresh tiba di rumah dari perkebunan pinang tempat dia bekerja mengeluh sakit kepala, dan diam-diam beranjak tidur. Ia lalu mengucapkan "Selamat malam" kepada Gayatri istrinya. Tanpa disangka kalimat itu menjadi ucapan terakhirnya.

Empat hari kemudian, kesehatannya memburuk dengan cepat, dia mengalami stroke yang membuatnya tidak dapat berbicara secara permanen. Ketika Gayatri memikirkan suaminya, hal pertama yang dia ingat adalah suaranya. "Dulu dia tidak pernah berhenti berbicara," kenang dia.

Penyakit misterius yang menyerang Suresh menyebar seperti api pada musim dingin itu melalui Aralagodu, sebuah desa kecil di tengah hutan di Karnataka, sebuah negara bagian di selatan India. Pada akhir musim dingin itu, 14 orang telah meninggal 0,5 persen dari penduduknya. Setahun setelah stroke, Suresh juga meninggal karena penyakit itu. Ia meninggalkan dua anak kecil.

"Saya akan membayar berapapun harganya untuk membuatnya tetap hidup," kata Gayatri kepada Catherine Davison dari BBC. "Saya melakukan segalanya saya memastikan dia meminum obatnya pada waktu yang tepat. Tapi saya tidak bisa menyelamatkannya," kata dia.

Sebagian besar peneliti percaya bahwa penyakit hutan Kyasanur telah mewabah selama berabad-abad di hutan Ghats Barat di India. Beredar secara diam-diam di antara populasi primata, burung, dan hewan pengerat, serta kutu yang mereka bawa.

Penyakit hutan Kyasanur (Kyasanur forest disease/KFD) dinamai sesuai dengan hutan asalnya adalah penyakit hemoragik yaitu kondisi medis yang mengancam jiwa yang terjadi ketika pembuluh darah di otak pecah dan berdarah.

Penyakit ini ditularkan melalui kutu dengan tingkat kematian sekitar 5 persen. Juga dikenal sebagai "demam monyet" (monkey fever) pertama kali ditemukan pada 1957 setelah wabah di Shivamogga, Distrik Karnataka dimana Aralagodu juga berada.

Dalam beberapa dekade berikutnya, wabah yang berulang sebagian besar tetap terbatas di daerah tersebut. Namun dalam beberapa tahun terakhir, penyakit ini mulai menyebar, dengan kasus yang muncul pertama kali pada 2013 di negara bagian tetangga Tamil Nadu dan Kerala, diikuti oleh Goa pada 2015 dan Maharashtra pada 2016.

Sayangnya penyakit ini hampir tidak terdaftar dalam daftar pantauan kesehatan global. Hal ini mungkin karena wabah sebagian besar terjadi di daerah pedesaan yang berbatasan dengan lahan hutan. Penyakit ini hanya mempengaruhi sebagian kecil penduduk India.

Tetapi penyebaran penyakit ini menunjukkan tren yang jauh lebih besar dan lebih mengkhawatirkan, seperti yang disorot baru-baru ini oleh pandemi Covid-19. Penyakit ini menjadi pandemi kemungkinan karena penyakit zoonosis yang menyebar ke populasi manusia.

Deforestasi, perubahan penggunaan lahan, dan perubahan iklim membuat manusia semakin rentan terhadap virus baru. Penyakit zoonosis penyakit yang dapat ditularkan antara manusia dan spesies hewan merupakan sebagian besar penyakit baru dan lama yang mempengaruhi populasi manusia.

Fragmentasi Lahan Hutan

Sebagian besar peneliti percaya bahwa KFD endemik selama berabad-abad di hutan Ghats Barat di India. Penyakit ini beredar secara diam-diam di antara populasi primata, burung, dan hewan pengerat, serta kutu yang mereka bawa. Terfragmentasi lahan hutan oleh aktivitas manusia, dan perubahan pola curah hujan mempengaruhi siklus perkembangan kutu, keseimbangan siklus penyakit terganggu memicu wabah baru.

"Titik api baru mungkin terjadi ketika bentang alam hutan telah berubah, atau penggunaan hutan oleh orang-orang telah berubah, katakanlah dalam lima sampai 10 tahun sebelumnya, dan itulah yang mendorong perebakan," kata Bethan Purse, ahli ekologi dan spesialis penyakit yang ditularkan melalui vektor di Pusat Ekologi & Hidrologi Inggris (UKCEH), yang saat ini memimpin proyek penelitian interdisipliner untuk lebih memahami dinamika KFD.

Ghats Barat, pegunungan di selatan India, adalah rumah bagi bentangan luas hutan yang sebagian besar tidak terganggu. Tetapi area tersebut mengalami deforestasi dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, sebagian karena ledakan agroforestri komersial.

Deforestasi di wilayah Shivamogga didorong oleh meningkatnya permintaan akan buah pinang, yang berasal dari pohon pinang. Biji dari pinang adalah obat perangsang yang populer saat ditumbuk dan dikunyah.

Di India sendiri konsumsi pinang merupakan masalah kesehatan utama, dengan faktor risiko banyak kanker mulut dan kanker esofagus. Pinang dikonsumsi oleh ratusan ribu orang di seluruh wilayah Asia-Pasifik dan juga di AS, menjadikannya salah satu zat psikoaktif yang paling banyak digunakan di seluruh dunia selain tembakau, alkohol, dan kafein.

Namun, tidak seperti tembakau, tidak ada kebijakan global untuk mengontrol penggunaan pinang. Oleh karenanya para peneliti melabeli pinang sebagai "darurat kesehatan masyarakat global yang terabaikan".

Perkebunan pinang seperti tempat Suresh bekerja adalah hotspot KFD, karena memecah hutan lebat dan tidak terganggu, menciptakan "zona transisi" tempat hutan dan penyakit yang mengintai di dalamnya bertemu dengan perkebunan dan habitat manusia.

"Apa yang dilakukan degradasi adalah benar-benar membuat orang bersentuhan dengan kutu," jelas Purse. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top