Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 22 Des 2018, 05:00 WIB

Defisit Transaksi Berjalan

Foto: KORAN JAKARTA/ONES

Defisit neraca perdagangan Indonesia (NPI) kembali mencuat di penghujung tahun 2018 ini. Hal ini memang penting karena dampaknya menambah lebar jurang defisit neraca transaksi berjalan (NTB) atau current account deficit (CAD). Secara teoritis, current account deficit akan terjadi ketika nilai impor suatu negara lebih besar dari ekspor.

Defisit tidak melulu negatif bila impor untuk tujuan investasi yang produktif seperti bahan baku demi kebutuhan industri pengolahan. Sebaliknya, impor bisa dianggap negatif bila sifatnya konsumtif. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS), ada peningkatan ekspor Oktober 2018 sebesar 15,80 miliar dollar AS (5,87 persen) dibanding September 2018.

Masih dalam periode yang sama, ekspor nonmigas telah naik 14,32 miliar dollar AS (4,99 persen). Tiongkok menjadi tujuan utama ekspor nonmigas, disusul Amerika Serikat dan India dengan nilai masing-masing 2,17 miliar dollar AS, 1,53 miliar dollar AS dan 1,53 miliar dollar AS (Januari-Oktober 2018). Terdapat tiga provinsi yang berkontribusi besar selama Januari-Oktober 2018.

Mereka adalah Jawa Barat 25,45 miliar dollar AS (16,87 persen), Jawa Timur 16,18 miliar dollar (10,72 persen) dan Kalimantan Timur 15,41 miliar dollar (10,21 persen). Secara kumulatif (Januari- Oktober 2018), ekspor bahan bakar mineral masih menonjol dalam sektor nonmigas. Kontribusinya 15,05 persen dari total ekspor.

Kegiatan impor Oktober 2018 sebesar 17,62 miliar dollar atau naik 23,66 persen (yoy). Sedang sama, impor nonmigas naik 14,71 miliar dollar atau 19,42 persen dibanding September 2018. Sedangkan, impor naik juga terjadi pada sektor migas sebesar 2,91 miliar dollar atau 27,72 persen.

Total impor Januari- Oktober 2018 didominasi barang-barang seperti mesin (16,94 persen), peralatan listrik (13,59 persen) dan besi-baja (6,13 persen). Kemudian, berdasarkan golongan penggunaan barang, impor terhadap barang konsumsi dan barang modal naik masing-masing 25,71 persen dan 28,08 persen dari periode sama tahun 2017.

Angka ini lebih besar dari impor bahan baku yang hanya naik 22, 15 persen. Tiongkok menjadi mitra utama Indonesia dalam menyuplai kebutuhan barang nonmigas baik kebutuhan konsumsi, bahan baku, maupun barang modal. Kontribusi totalnya mencapai 27,87 persen, disusul Jepang (11,47 persen) dan Thailand (7,02 persen).

Maka, wajar jika pada bulan Oktober 2018 neraca perdagangan Indonesia defisit 1,82 miliar dollar dan berkontribusi terhadap defisit CAD. Hal ini sejalan dengan laporan triwulan III 2018 Bank Indonesia yang menyatakan, defisit CAD telah mencapai 3,37 persen dari PDB atau sebesar 8,8 miliar dollar AS.

Angka tersebut lebih tinggi dari triwulan sebelumnya yang mencapai 3,02 persen atau 8,0 miliar dollar. Kenaikan konsumsi bahan bakar minyak dan harga minyak dunia di pasar internasional menyebabkan impor minyak triwulan III 2018 naik 12,1 persen (qtq) dari 6,5 miliar dollar menjadi 7,3 miliar dollar.

Dampaknya, performa neraca perdagangan barang menurun yang semula surplus 0,3 miliar dollar pada triwulan II sehingga menjadi defisit 0,4 miliar dollar pada triwulan III tahun 2018. Neraca perdagangan jasa juga defisit 2,2 miliar dollar karena meningkatnya wisatawan dalam negeri yang berwisata ke luar negeri. Kemudian meningkatnya jasa pengiriman (freight) barang seiring kenaikan impor. Ini membuat jasa transportasi sebagai menyumbang defisit terbesar neraca perdagangan jasa.

Kopi

Secara umum, untuk mengatasi defisit pemerintah bisa menggenjot ekspor barang dan jasa di pasar international. Tapi ini memerlukan proses rumit. Apalagi Indonesia masih banyak pekerjaan rumah memperbaiki produtivitasnya. Hal ini patut diperhatikan, karena ekonomi berbasis ekspor yang produktif harus menjadi prioritas jangka panjang.

Namun, dalam situasi CAD seperti ini, rakyat dan konsumen sebenarnya juga bisa berkontribusi untuk penurunan CAD. Salah satunya membeli kopi merek atau brand dalam negeri agar dana terus berputar di dalam negeri, tidak perlu ditukarkan dalam bentuk mata uang asing seperti dollar AS.

Sebaliknya, jika membeli kopi merek terkenal dari luar negeri, sebagian uang harus ditukarkan dalam bentuk mata uang asing untuk membayar royalti. Hal ini tentunya turut memberi kontribusi kondisi negatif CAD. Sebagai catatan, defisit untuk akun yang mencatat transaksi royalti barang dan jasa telah meningkat jumlah agregatnya menjadi 402 juta dollar AS (Triwulan III 2018) dari 389 juta dollar pada tahun 2017 triwulan yang sama.

Hal ini wajar, mengingat Indonesia menjadi negara keempat penghasil kopi dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Indonesia sendiri telah menyumbang 685 ribu ton per tahunnya atau 8, 9 persen dari produksi kopi dunia. Selain itu, konsumsi kopi Indonesia tahun 2016 mencapai 250 ribu ton dan tumbuh 10,54 persen.

Pertumbuhan konsumsi ini hingga tahun 2021 diprediksi mencapai 370 ribu ton dengan rata-rata naik 8,22 persen per tahun. Diharapkan konsumsi ini bisa dialihkan sepenuhnya pada produk kopi dalam negeri. Selain itu, keinginan berwisata ke luar negeri bisa dialihkan menjadi perjalanan ke berbagai provinsi penghasil kopi aslinya seperti Bali, Lombok, Papua, atau Sumatera.

Tentunya ini akan berdampak mengurangi defisit neraca jasa transportasi. Kemudian, mendorong produsen dan petani kopi dalam negeri dan memajukan ekonomi berbasis turisme. Pada akhirnya, ini akan berujung meningkatnya pemahaman dan kepedulian akan keindahan serta potensi banyak destinasi.

Menariknya, ini mengingatkan pada konsep swadesi yang diajarkan Gandhi dari India. Ini konsep menggunakan produk dalam negeri demi kemajuan bangsa dan negara. Dengan mengalihkan konsumsi kopi ke produk dalam negeri, bisa membantu petani dan produsen kopi Indonesia sesrta mengurangi defisit neraca transaksi berjalan. Mari kita bergotong royong menjaga stabilitas perekonomian nasional!

Dewa Gede Sidan Raeskyesa, Msc, Lulusan International Economics and Public Policy, Johaness Gutenberg Universitat Mainz, Jerman

Penulis:

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.