Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perdagangan Bebas - Informasi Dampak Ekonomi bagi Indonesia Sangat Terbatas

Defisit Neraca Perdagangan RI-Australia Bakal Berlanjut

Foto : Sumber: Kementerian Perdagangan – Litbang KJ/and
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Kesepakatan perdagangan bebas, Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), dinilai membuat defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Australia yang sudah berlangsung sejak 2013, akan terus berlanjut. Hal itu dikemukakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, di Jakarta, Senin (4/3).

"Berdasarkan data neraca perdagangan yang dirilis Kementerian Perdagangan (Kemendag), perdagangan Indonesia terhadap Australia terus mengalami defisit terhitung sejak tahun 2013 hingga 2018," ungkap dia. Menurut Rachmi, defisit neraca dagang tersignifikan dengan tidak adanya pembukaan akses pasar produk pertanian termasuk perkebunan yang dimiliki Indonesia ke Australia.

Sebab, dalam fact sheet yang dirilis Kemendag menyatakan bahwa selama ini Australia telah membuka tarif hingga nol persen untuk produk pertanian Indonesia, seperti kopi, karet, kayu, cokelat, dan kertas. Dia menjelaskan informasi umum yang dibuka kepada publik seperti fact sheet dari Kemendag maupun dari pemerintah Australia hanya informasi sepihak.

Informasi dasar ini juga tidak memuat mengenai hitungan dampak ekonomi bagi masyarakat Indonesia secara langsung. Penghitungan yang dibuat dalam joint study antara Indonesia dan Australia hanya terbatas pada proyeksi peningkatan aktivitas ekspor dan investasi yang akan diperoleh kedua negara.

"Bahkan, tidak ada penghitungan mengenai bagaimana analisa dampak terhadap hak asasi manusia mengingat aturan perjanjian perdagangan dan investasi akan mendorong banyak deregulasi," tukas Rachmi. Tentunya, lanjut dia, dampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan negara dalam menjalankan kewajiban untuk memenuhi dan melindungi hak dasar publik di Indonesia menjadi implikasi yang tidak dapat dihindarkan.

Rachmi mengatakan hal itu karena konsep economic powerhouse yang diusung akan meningkatkan penggunakan bahan baku produk pertanian asal Australia untuk diolah di Indonesia dalam industri makanan olahan, ketimbang menggunakan dan menyerap produk pertanian lokal yang dapat memberikan efek terhadap kesejahteraan petani lokal.

"Tentunya, eksposur produk impor asal Australia terhadap Indonesia akan semakin tinggi, dan defisit perdagangan antara Indonesia dan Australia akan tetap berlanjut," tukas Rachmi. Berdasarkan data Kemendag, defisit perdagangan Indonesia terhadap Australia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Pada 2015, defisit tersebut mencapai 1,11 miliar dollar AS dan mencapai titik tertinggi sebesar 3,48 miliar dollar AS pada 2017. (Lihat Infografis) Komoditas utama Australia yang masuk sebagai produk impor adalah golongan barang dengan kode HS 27, yaitu bahan bakar mineral, tercatat masuk senilai 1,64 miliar dollar AS pada 2017.

Mineral itu utamanya berasal dari batu bara, yang merupakan komoditas ekspor andalan Australia. Selain itu, komoditas tanaman biji-bijian, yang didominasi oleh gandum, juga banyak masuk ke Indonesia, mencapai 1,33 miliar dollar AS.

Pangkas Bea Impor

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Persemakmuran Australia secara resmi menandatangani Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) di Jakarta, Senin.

Dalam perjanjian yang telah ditandatangani tersebut, Indonesia akan memangkas bea impor sebesar 94 persen untuk produk asal Negeri Kanguru itu secara bertahap. Sebagai gantinya, 100 persen bea impor produk asal Indonesia yang masuk ke Australia akan dihapus.

Mengenai perjalanan kesepakatan ekonomi itu, Rachmi menilai dalam prosesnya, sangat disangsikan bahwa pemerintah Indonesia membuka ruang konsultasi yang bersifat berkelanjutan kepada DPR.

Padahal, sesuai dengan UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, setelah perjanjian selesai ditandatangani maka pemerintah menyampaikan perjanjian tersebut kepada DPR paling lama 90 hari kerja. Artinya, IACEPA wajib diserahkan kepada DPR RI paling lambat pada Juni 2019.

Akan tetapi, Rachmi menegaskan yang sangat penting dilakukan sebelum DPR memberikan persetujuan terhadap IA-CEPA adalah melakukan kajian menyeluruh terhadap semua aturan yang telah mengikat komitmen Indonesia ke dalam perjanjian tersebut, serta wajib melakukan analisa dampak terhadap pelaksanaan perjanjian tersebut.

Hal ini bertujuan memastikan hak rakyat Indonesia yang dilindungi dalam konstitusi tidak diabaikan.

ers/ahm/WP

Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top