Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kasus BLBI I Pansus BLBI DPD Menilai Penjualan BCA kepada Farallon Capital Terlalu Murah

Debitur BLBI yang Rugikan Negara Ribuan Triliun Harus Diproses Hukum

Foto : ISTIMEWA

Ketua Pansus BLBI DPD, Bustami Zainudin, dalam keterangan resmi di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan proses penjualan saham pemerintah di BCA melalui program divestasi kepada konsorsium Farallon Capital pada 2002 lalu diduga kuat atas intervensi Dana Moneter Internasional (IMF), sehingga dinilai tidak tepat dan terlalu murah

A   A   A   Pengaturan Font

» Transaksi penjualan saham BCA diduga terjadi suatu rekayasa intelektual dalam buku bank tersebut.

» Aset yang diserahkan konglomerat ke BPPN tidak sesuai dengan nilai BLBI yang mereka terima.

JAKARTA - Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Dewan Perwakilan Daerah (Pansus BLBI DPD) menilai penjualan saham PT Bank Central Asia (BCA) setelah krisis moneter merugikan negara triliunan rupiah.

Ketua Pansus BLBI DPD, Bustami Zainudin, dalam keterangan resmi di Jakarta, akhir pekan lalu, mengatakan proses penjualan saham pemerintah di BCA melalui program divestasi kepada konsorsium Farallon Capital pada 2002 lalu diduga kuat atas intervensi Dana Moneter Internasional (IMF), sehingga dinilai tidak tepat dan terlalu murah.

Bustami menyampaikan hal tersebut di sela-sela rapat dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2003-2008, Burhanudin Abdullah Harahap, di Gedung Nusantara III, Jakarta. Burhanudin hadir memenuhi undangan Pansus BLBI DPD untuk didengar pendapatnya terkait divestasi BCA, beberapa waktu lalu.

Pansus pada kesempatan itu menyampaikan beberapa pertanyaan kunci terkait pengucuran BLBI, penjualan BCA pada 2003, dan kemungkinan moratorium obligasi rekap eks BLBI yang merugikan negara hingga ribuan triliun rupiah.

Ia memaparkan konteks penjualan 51 persen saham BCA pada tanggal 31 Desember 2002 sangat murah karena nilai aset BCA berdasarkan laporan keuangan auditor independen tercatat 117 triliun rupiah.

Namun saat transaksi penjualan, diduga terjadi suatu rekayasa intelektual dalam buku BCA, yang terdapat obligasi rekap pemerintah senilai 60 triliun rupiah. Padahal, saham pemerintah yang dimiliki sebesar 93 persen berasal dari pemilik saham BCA lama yakni Anthony Salim.

Hal tersebut sebagai sisa pelunasan utang BLBI senilai 33 triliun rupiah yang hanya mampu dibayar delapan triliun rupiah saja. Dengan demikian, harga saham BCA sebesar 93 persen adalah 25 triliun rupiah, sehingga sesungguhnya nilai BCA pada tahun 2003 saat dijual dalam posisi untung sebesar empat triliun rupiah.

Total valuasi BCA, jelasnya, 89 triliun rupiah yang terdiri dari obligasi rekap 60 triliun rupiah, harga saham 25 triliun rupiah ditambah keuntungan empat triliun rupiah. Anehnya, transaksi penjualan 51 persen saham BCA kepada Farallon (pemilik PT Djarum Budi Hartono) hanya lima triliun rupiah.

Ada Kejanggalan

Menurut Bustami, transaksi ini sangat janggal sebab BCA menerima bunga obligasi rekap pemerintah sebesar tujuh triliun rupiah sejak 2003 sampai tahun 2009. Hal itu diakui oleh Direktur BCA, Subur Tan.

"Atas pengakuan tersebut, ditemukan fakta suatu kejanggalan kasus kerugian keuangan negara senilai 49 triliun rupiah (subsidi bunga obligasi rekap eks BLBI) ditambah 89 triliun rupiah (nilai BCA tahun 2003 di luar profit BCA yang diterima oleh Budi Hartono sebagai pemegang saham pengendali BCA sejak tahun 2003) sehingga totalnya 138 triliun rupiah. Bagaimana menurut saudara?" tanya Bustami.

Menanggapi pertanyaan itu, Gubernur BI periode 2003-2008, Burhanudin Abdullah, mengatakan pada dasarnya perusahaan-perusahaan yang diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) oleh bank, direncanakan akan diserahkan atau dijual kepada pemilik lama.

IMF, kata Burhanuddin, menyarankan agar bank-bank itu untuk dijual ke pemilik lama meski akhirnya akan mengalami kerugian 30 persen. Karena jika dijual ke pemilik baru, harganya akan lebih murah. Ironisnya, kata Burhanudin, faktanya justru bank dibeli oleh pemilik lama yang menggunakan baju baru.

Dia pun sebenarnya menginginkan adanya moratorium, namun lingkungan dan waktunya tidak tepat lantaran situasi global sedang sangat sulit seperti terjadinya inflasi di Amerika dan Eropa serta peningkatan inflasi di dalam negeri dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pangan, dan energi.

Bustami menambahkan, jawaban Burhanudin itu akan menjadi bahan bagi Pansus untuk memanggil pemangku kepentingan terkait BLBI lainnya. Sebelumnya, Pansus BLBI DPD sudah mengundang Anthony Salim, Budi, dan Robert Hartono, serta Sjamsul Nursalim.

Pansus BLBI DPD bertindak berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan bukti-bukti berikutnya bersama dengan undangan kepada semua pihak yang mengetahui duduk persoalan BLBI dan obligasi rekap.

"Kami akan jalan terus dan pantang mundur karena rakyat sedang susah, konglomerat hitam yang merugikan negara ribuan triliun ini harus kita hentikan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Siapa pun itu sama di mata hukum," tegas Bustami.

Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menyatakan Pansus BLBI DPD harus mengulik terus semua dokumen penting terkait masa-masa pengucuran KLBI, BLBI, Obligasi Rekap, dan penjualan aset-aset milik konglomerat penerima BLBI itu oleh BPPN termasuk penjualan BCA.

"Kalau saya membaca banyak dokumen saat itu, negara benar-benar dirampok secara bertubi-tubi oleh para konglomerat hitam yang hari ini kembali menguasai ekonomi Indonesia," kata Salamuddin saat dihubungi, Minggu (25/9).

Kerugian pertama, di badai krisis 1998, banyak dugaan yang muncul bahwa para konglomerat justru telah melarikan uangnya ke luar negeri sebelum rupiah benar-benar jatuh atau merekalah yang justru menyebabkan rupiah makin jatuh. Uang BLBI yang dikucurkan untuk membiayai rush pun diduga juga dilarikan ke LN.

Kedua, nilai aset yang diberikan pada BPPN pun tidak sesuai dengan nilai BLBI yang diberikan BI. Ketiga aset mereka pun akhirnya kembali ke mereka dengan sangat murah karena kurs kita sudah jatuh.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Antara, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top