Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Dari Mana Penghitungan Waktu Berasal?

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Masyarakat dunia saat ini menggunakan penghitungan waktu 1 menit sama dengan 60 detik, 1 jam 60 menit, dan 24 jam dalam satu hari, dan 7 hari dalam sepekan. Penghitungan dari masa peradaban Babilonia ini menggunakan basis 12 dan basis 60, kecuali penghitungan 7 hari dalam sepekan.

Penghitungan waktu yang ada saat ini dalam sejarahnya berasal dari bangsa Babilonia yang mendiami lembah Sungai Tigris dan Eufrat, yang berada di Irak saat ini. Bangsa ini memiliki dikenal memiliki pengetahuan tentang astronomi dan matematika yang maju.
Bangsa Babilonia yang menentukan 24 jumlah jam dalam satu hari, membagi siang dan malam masing-masing-masing 12 jam. Dalam sejarahnya angka 60, 12, dan 24 berasal dari sistem penomoran Babilonia yang sampai saat ini masih dipakai dan cukup relevan.
Tidak seperti sistem desimal standar yang mengelompokkan angka dalam 10-an, orang Babilonia menggunakan sistem angka duodesimal (basis 12) dan seksagesimal (basis 60). Sistem yang sebenarnya dimulai oleh Bangsa Sumeria, sebuah budaya yang dimulai 2000 tahun sebelum Babilonia, sekitar 4000 SM.
Menurut para sejarawan modern, Bangsa Sumeria tinggal secara permanen sekitar 5500 hingga 4000 SM. Orang-orang non-Semit berkomunikasi menggunakan Bahasa Sumeria. Mereka tinggal di wilayah yang disebut Mesopotamia yang berarti sebuah tanah di antara dua sungai besar yaitu Sungai Eufrat dan Tigris, yang berhulu di Turki.
Diyakini bahwa sistem penghitungan berasal dari orang-orang kuno yang menggunakan ibu jari mereka sebagai penunjuk. Ibu jari menghitung dengan menggunakan tiga ruas jari dari empat jari lainnya. Maka, cukup logis bagi mereka untuk membagi waktu mereka menggunakan sistem matematika yang sama.
Namun demikian tidak semua penghitungan terkait astronomi jatuh pada angka 6, 12, atau 24. Ketika menentukan jumlah hari dalam sepekan, dan pekan dalam sebulan, orang Babilonia memiliki penghitungannya sendiri yaitu angka tujuh. Angka ini ditentukan berdasarkan jumlah benda langit yang menonjol yaitu Matahari, Bulan, Merkurius, Venus, Mars, Jupiter dan Saturnus.
Babilonia membagi bulan berdasarkan pergerakan Bulan. Mereka menyatakan dalam sepekan ada tujuh hari. Hari terakhir pada tiap pekan memiliki signifikansi dengan ritual keagamaan tertentu. Dengan siklus bulan yang berlangsung 28 hari hal itu terlalu lama untuk bisa dikelola dengan efektif. Mereka lalu membagi 28 hari tersebut menjadi empat bagian, masing-masing terdiri dari 7 hari.
Namun angka tujuh tidak terlalu cocok untuk bisa bertepatan dengan tahun atau bahkan bulan yang dibuat berdasarkan siklus Matahari. Jadinya angka tujuh ini disebutkan menciptakan ketidakteraturan. Namun, budaya Babilonia begitu dominan di wilayah Timur Dekat pada abad keenam dan ketujuh SM, tetap dianut.
Meskipun peradaban seperti Mesir dan Romawi memiliki jumlah hari berbeda dalam setiap pekannya, namun akhirnya yang dipakai jumlah hari Babilonia. Waktu dalam sepekan Mesir kuno berjumlah 10 hari sedangkan Romawi memiliki jumlah delapan hari. Satu tahun orang Romawi yang peradabannya lebih muda pernah sebanyak 10 bulan sebelum pindah ke 12 bulan

Pengaruh Alexander Agung
Ketika berabad-abad kemudian, saat Alexander Agung mulai menyebarkan budaya Yunani ke Timur Dekat sampai India, konsep tujuh hari dalam sepekan juga menyebar. Dari India konsep 7 hari menyebar ke wilayah Tiongkok.
Ketika orang-orang Romawi mulai menaklukkan wilayah yang dipengaruhi oleh Alexander Agung, mereka akhirnya bergeser ke gagasan satu pekan tujuh hari. Bahkan Kaisar Konstantinus menetapkan tujuh hari dalam sepekan. Hari terakhir ditetapkan sebagai hari libur umum sejak 321 Masehi.
Melalui kalender lunar, peradaban Babilonia juga melacak fase transisi bulan. Hitungnya menyatakan dibutuhkan sekitar 28 atau 29 hari bagi bulan untuk menyelesaikan siklus bulan penuhnya. Periode ini menjadi bulan dan dibagi menjadi empat bagian yang sama, menghasilkan tujuh hari dalam sepekan. hay/I-1

Tablet Benda-benda Langit

Peradaban Babilonia dikenal memiliki keahlian dalam bidang matematika dan astronomi. Salah satu bukti adalah ditemukannya beberapa tablet yang menunjukkan adanya penghitungan rotasi Bintang Putih atau Planet Jupiter dalam mengelilingi Matahari.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh ahli matematika abad pertengahan dari Universitas Humboldt di Berlin pada 2016 berhasil menganalisa sebuah tablet tanah liat yang digunakan untuk penghitungan kalkulus. Disebutkan tablet geometri astronomi tersebut 1.400 tahun lebih dulu sebelum orang Eropa mengenalnya.
Mathieu Ossendrijver dari Universitas Humboldt di Berlin berhasil menemukan bentuk kalkulus sederhana yang dapat digunakan untuk melacak gerakan benda-benda langit. Para astronom Babilonia, menggoreskan tanda-tanda kecil di tanah liat lunak, menggunakan geometri yang sangat canggih untuk menghitung orbit dari Planet Jupiter.
Tablet ini sangat tidak bisa dipahami oleh mata yang tidak terlatih. Ribuan lempengan tanah liat banyak yang digali pada abad ke-19 oleh para petualang yang berharap dapat membangun koleksi museum di Eropa, Amerika Serikat, dan tempat lain. Namun sayang tablet tersebut tetap tidak terbaca oleh para ahli saat ini.
Ossendrijver adalah seorang astrofisikawan yang menjadi ahli dalam sejarah ilmu pengetahuan kuno. "Saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Saya tidak bisa mengerti apa-apa tentang mereka, begitu pula orang lain. Saya hanya bisa melihat bahwa mereka berurusan dengan hal-hal geometris," kata dia.
Tablet ini berasal dari seorang pensiunan Assyriologist yang pada 2014 memberinya beberapa foto hitam-putih dari tablet yang disimpan di museum. Ia kemudian memperhatikan salah satunya, hanya dua inci dan tinggi dua inci. Benda bulat yang diteliti secara langsung pada September 2015 ini ternyata adalah sejenis Batu Rosetta.
Secara resmi tablet itu diberi nama BM 40054 oleh museum, dan dijuluki Teks A oleh Ossendrijver, tablet kecil itu memiliki tanda yang berfungsi sebagai semacam singkatan dari penghitungan yang lebih panjang yang tampak akrab baginya.
Dengan membandingkan Teks A dengan empat tablet misterius sebelumnya, dia mampu memecahkan kode apa yang sedang terjadi dan semua tentang Jupiter.
Lima tablet menghitung gerakan Yupiter yang dapat diprediksi relatif terhadap planet-planet lain dan bintang-bintang yang jauh. Bukti baru menunjukkan planet kesembilan itu berada di tepi tata surya terjauh bersama dengan Saturnus menurut pengetahuan saat itu.
"Tablet ini berisi angka dan penghitungan, penambahan, pembagian, perkalian. Itu tidak benar-benar menyebutkan Jupiter. Ini adalah versi yang sangat singkat dari penghitungan yang lebih lengkap yang sudah saya ketahui dari lima, enam, tujuh tablet lainnya," kata dia.
Yang paling mencolok, metodologi untuk penghitungan tersebut menggunakan teknik yang menyerupai geometri astronomi yang dikembangkan pada abad ke-14 . Oxford's Merton College melakukan penanggalan tablet-tablet itu secara otoritatif mulai dari periode dari 350 SM sampai 50 SM.
"Penemuan ini menunjukkan bahwa masih banyak yang harus dipelajari tentang sains kuno, dan bahwa setiap hal baru yang kita pelajari menunjukkan betapa pintarnya para astronom kuno," kata John Steele, profesor Universitas Brown yang memiliki keahlian astronomi kuno yang tidak terlibat dalam studi itu.
Ossendrijver mengatakan, orang-orang Mesopotamia atau Irak sekarang mengembangkan matematika sekitar 5000 tahun yang lalu. Di antara mereka adalah orang Babilonia yang menulis dalam tulisan runcing dan, seiring waktu, mengadopsi sistem penomoran seksagesimal (basis 60). Hal itu merupakan dasarnya bentuk penghitungan awal seperti menghitung domba dan sejenisnya.
"Ini adalah geometri yang sudah tua, tetapi diterapkan dengan cara yang benar-benar baru, bukan pada bidang, atau sesuatu yang hidup di ruang nyata, tetapi pada sesuatu yang ada di ruang yang sepenuhnya abstrak," kata Ossendrijver.
"Di Babilonia, antara 350 dan 50 SM, para sarjana, atau mungkin seorang yang sangat pintar, muncul dengan ide menggambar grafik kecepatan sebuah planet terhadap waktu, dan menghitung luas grafik ini melakukan semacam penghitungan yang tampaknya benar-benar modern, yang baru ditemukan pada 1350," imbuh Ossendrijver.
Alexander Jones, seorang profesor di Institut Studi Dunia Kuno Universitas New York, memuji penelitian Ossendrijver.
"(Hal itu bukti) kecemerlangan revolusioner dari para sarjana Mesopotamia yang tidak dikenal yang membangun astronomi matematika Babilonia selama paruh kedua milenium pertama SM," ungkap dia. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top