Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perada

Dari Caddy Golf Menjadi Panglima TNI

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Anak Sersan Jadi Panglima:
Panglima TNI Marsekal
Hadi Tjahjanto
Penulis : Eddy Suprapto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2018
Tebal : 218 halaman
ISBN : 978-602-03-8096-4
Harga : Rp115.000

Marsekal Hadi Tjahjanto kini menduduki jabatan Panglima TNI. Jabatan itu diembannya sejak 8 Desember 2017. Ia merupakan Panglima TNI kedua yang berasal dari Angkatan Udara setelah Marsekal Djoko Suyanto. Siapa sesungguhnya Hadi Tjahjanto? Buku biografi ini mengungkap secara lengkap dan mendalam tentang orang nomor satu di TNI ini. Isinya sangat menyentuh dan inspiratif karena latar belakang Hadi yang berasal dari kalangan rakyat biasa.

Tak banyak yang tahu jika Hadi Tjahjanto berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Ia bukan berasal dari kalangan berada, berpangkat tinggi, atau kalangan elite lainnya seperti kebanyakan pejabat di negeri ini. Hadi memang lahir dari keluarga TNIAU, tapi ayahnya, Bambang Sudarto, hanya berpangkat sersan mayor. Sedangkan ibunya, Nur Saa'dah, hanya ibu rumah tangga biasa. Bambang adalah mekanik pesawat tempur di Lanud Abdulrachman Saleh, Malang.

Sebagai anak prajurit yang bergaji pas-pasan, masa kecil Hadi harus dilalui dengan keprihatinan. Ibunya pernah harus menjual sepatu dinas ayah Hadi hanya untuk sekedar membeli beras. Jikapun beras sudah tersedia, ketiadaan lauk-pauk sering dialami keluarga ini. Tak jarang sebutir telur yang didadar dengan diberi tepung dan kecap harus dipotong lima, untuk Hadi dan keempat adiknya.

Keterbatasan ekonomi membuat Hadi yang lahir di Malang, 8 November 1963 ini harus membantu keluarga dengan bekerja sebagai caddy golf. Pekerjaan ini dijalaninya ketika kelas VI SD saat libur sekolah. Hadi yang masih belia harus bersusah payah menggendong tas berisi stik dan peralatan golf lainnya yang beratnya mencapai 15 kilogram. Dengan beban seberat itu ia harus berjalan menyusuri lapangan golf sejauh 5 sampai 10 kilometer.

Penghasilan dari menjadi caddy saat itu (tahun 1976) Rp200. Uang sejumlah itu cukup untuk membeli 5 liter beras (hlm. 21). Keterbatasan ekonomi pula yang membuat ayah Hadi tak pernah membayangkan kalau putranya akan meraih cita-cita yang tinggi. Ayahnya malah menyarankan agar Hadi setelah lulus SMP melanjutkan ke STM grafika (percetakan) agar mudah mendapatkan pekerjaan.

Kala itu lulusan grafika memang sedang banyak dicari. Namun, jalan hidup sebagai anak mekanik pesawat tempur berkata lain. Hadi tak berminat dengan dunia grafika. Ia malah melanjutkan ke Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP, kini SMAN 1 Lawang), sekolah unggulan di Malang. Hadi yang sering menyaksikan ayahnya bekerja di hanggar, tanpa disadarinya telah menjadikan hanggar sebagai ruang kelas untuk mengenal dunia penerbangan.

Hadi pun memantapkan tekad untuk menjadi penerbang Angkatan Udara. Maka selepas SMPP, Hadi melanjutkan ke Akademi Angkatan Udara (AAU). Dengan ketekunan dan kerja keras, akhirnya Hadi lulus AAU pada 1986. Lulus AAU tak berarti keprihatinan berakhir. Pada 19 September 1986, ketika Hadi dilantik sebagai letnan dua di Istana Merdeka oleh Presiden Soeharto, keluarga Hadi tak punya ongkos untuk menghadiri pelantikan.

Baca Juga :
Letusan Semeru

Orang tua Hadi terpaksa menggadaikan barang-barang berharga demi menghadiri pelantikan sang anak (hlm. 56). Buku 6 bab ini memperlihatkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha, berdoa, dan diiringi restu orang tua. Selalu ada jalan untuk meraih cita-cita walau hidup penuh kekurangan dan keterbatasan. Diresensi Muhamad Ilyasa, alumnus UNJ

Komentar

Komentar
()

Top