Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Covid, Flu Burung, dan Mpox, Ini Kata Ahli Kenapa Wabah Terus Bermunculan

Foto : The Conversation/Shutterstock/Kateryna Kon

Ilustrasi virus.

A   A   A   Pengaturan Font

Lindsay Broadbent, University of Surrey

Dari wabah mpox yang meluas (sebelumnya disebut monkeypox, cacar monyet) pada 2022, lalu situasi flu burung yang berkembang saat ini, sampai kasus virus Marburg baru-baru ini di Guinea Khatulistiwa, Afrika Tengah, kita mendapati bahwa COVID tidak mendominasi berita utama seperti sebelumnya. Sebaliknya, kita kerap mendengar wabah virus baru atau yang muncul kembali.

Apakah insiden wabah virus meningkat? Atau, apakah kemampuan kita mendeteksi wabah menjadi lebih baik berkat pesatnya inovasi teknologi selama pandemi COVID? Jawabannya mungkin sedikit dari keduanya.

Ada sekitar 1,67 juta virus yang belum diidentifikasi yang saat ini menginfeksi mamalia dan burung. Dari jumlah tersebut, kira-kira 827 ribu di antaranya berpotensi menginfeksi manusia.

Untuk memahami bagaimana virus muncul, kita perlu kembali ke awal kehidupan di Bumi. Ada beberapa teori tentang bagaimana virus pertama muncul, tapi semuanya setuju bahwa virus telah ada selama miliaran tahun. Mereka berevolusi bersama makhluk hidup. Ketika ada gangguan pada evolusi bersama yang stabil ini, masalah mungkin akan muncul.

Pendorong utama munculnya virus pada populasi manusia adalah manusia dan tindakannya. Sejak pertanian menjadi praktik umum lebih dari 10.000 tahun yang lalu, manusia berhubungan lebih dekat dengan hewan. Perubahan ini meningkatkan kesempatan virus yang secara alami menginfeksi hewan-hewan ini untuk "melompat" ke manusia.

Peristiwa di atas disebut zoonosis. Ada sekitar 75% penyakit menular yang baru muncul disebabkan oleh peristiwa zoonosis.

Seiring kemajuan peradaban dan teknologi manusia, penghancuran habitat hewan memaksa mereka hijrah ke daerah baru untuk mencari sumber makanan. Spesies-spesies berbeda yang biasanya tidak berhubungan kini terpaksa berbagi ruang.

Tambahkanlah manusia ke dalam fenomena ini dan kamu memiliki resep sempurna untuk munculnya virus baru.

Urbanisasi menyebabkan kepadatan populasi yang tinggi, menciptakan lingkungan yang ideal untuk penyebaran virus. Pesatnya pembangunan kota-kota sering tak dibarengi infrastruktur yang memadai seperti sanitasi dan perawatan kesehatan, sehingga yang semakin meningkatkan kemungkinan wabah virus.

Perubahan iklim juga berkontribusi pada penyebaran virus. Misalnya, arbovirus (yang disebarkan oleh arthropoda seperti nyamuk) menyebar daerah baru karena semakin banyak negara yang menjadi tempat ideal nyamuk bertahan hidup-akibat iklim yang menghangat.

Kita (para ilmuwan virus) sudah mengetahui faktor-faktor ini sejak lama. Munculnya SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID) tidak mengejutkan ahli virologi atau epidemiolog mana pun. Ini hanya masalah kapan - bukan jika - pandemi akan terjadi. Hal yang tidak terduga adalah skala pandemi COVID, dan sulitnya membatasi penyebaran virus secara efektif.

Kita juga tidak dapat memprediksi dampak misinformasi terhadap bidang kesehatan masyarakat lainnya. Sentimen anti-vaksinasi khususnya telah menjadi lebih umum di media sosial selama beberapa tahun terakhir. Kita pun kita melihat peningkatan level keraguan terhadap vaksin.

Ada juga gangguan pada program imunisasi anak rutin. Ini meningkatkan risiko wabah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin seperti campak.

Pelajaran dalam Surveilans

Selama pandemi COVID, sains bergerak dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berbagai metode untuk mendeteksi terus berkembang, sehingga pemantauan wabah dan evolusi virus kian membaik.

Sekarang, banyak ilmuwan yang terlibat dalam pelacakan SARS-CoV-2 juga mengalihkan perhatian mereka untuk memantau virus lain.

Misalnya, pemantauan air limbah telah digunakan secara ekstensif untuk mendeteksi SARS-CoV-2 selama pandemi. Metode pemantauan tersebut juga dapat membantu melacak virus lain yang mengancam kesehatan manusia.

Ketika seseorang terinfeksi satu virus, beberapa materi genetik dari virus tersebut biasanya terbuang ke toilet. Air limbah mampu untuk menunjukkan jika jumlah infeksi di suatu daerah meningkat, bahkan sebelum jumlah kasus mulai meningkat di rumah sakit.

Upaya mengadaptasi teknologi ini untuk mencari virus lain seperti influenza, campak, atau bahkan polio dapat memberi kita data berharga tentang waktu wabah virus. Ini sudah terjadi sampai taraf tertentu - virus polio terdeteksi di air limbah di London selama 2022, misalnya.

Peningkatan pengawasan virus ini secara alami akan menghasilkan lebih banyak wabah virus yang dilaporkan. Sementara beberapa orang mungkin menganggap ini sebagai ketakutan, informasi seperti ini bisa menjadi kunci untuk mengatasi pandemi pada masa depan. Jika wabah terjadi di daerah yang tidak memiliki sistem pengawasan virus yang memadai, infeksi kemungkinan besar akan menyebar terlalu jauh sehingga tidak mudah dibendung.

Meskipun demikian, pengawasan hanyalah salah satu bagian dari kesiapsiagaan menghadapi pandemi. Pemerintah dan lembaga kesehatan dan sains di seluruh dunia perlu memiliki protokol pandemi dan kemunculan virus di suatu tempat (serta secara teratur memperbaruinya). Harapannya, kita tidak tergesa-gesa memahami situasi yang mungkin sudah terlambat.

COVID tidak mungkin menjadi pandemi terakhir yang akan disaksikan oleh banyak orang yang hidup hari ini. Semoga lain kali kita lebih siap.The Conversation

Lindsay Broadbent, Lecturer in Virology, University of Surrey

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top