Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pemilu Serentak

Cermati, Potensi Pembegalan Hak Caleg

Foto : koran jakarta/wachyu ap

Pegiat pemilu dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Titi Anggraini

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Masyarakat perlu mencermati potensi pembegalan hak calon legislatif dalam pemilu serentak. Pernyataan ini dikemukakan pegiat pemilu dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah, Titi Anggraini, di Semarang, Selasa (2/11).

Menurut Titi, pembegalan hak caleg untuk menjadi calon terpilih bisa terjadi. Antara lain melalui penyelesaian perselisihan antarcaleg. Padahal ini menyimpang dari sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Jadi, ada kudeta suara rakyat oleh suara partai.

"Kuasa uang dan dana kampanye yang tidak akuntabel membuat hak untuk mendapat kompetisi yang adil dan setara tidak dapat diwujudkan. Inilah sejumlah persoalan HAM dalam pemilu yang perlu mendapat perhatian pemangku kepentingan," ujarnya.

Pendapat Titi tersebut mau menguatkan bahwa penyelenggaraan pemilu harus menghormati manusia (humanis) karena pemilu adalah artikulasi pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan penghormatan terhadap martabat manusia.

"Penyelenggaraan pemilu jangan sampai membahayakan keselamatan wargan negara. Pemilu harus mampu menjaga kemurnian suara pemilih sesuai dengan kehendaknya," kata Titi Anggraini. Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah mengemukakan hal itu usai Diskusi Publik Seleksi KPU/Bawaslu dan Upaya Mengatasi Kompleksitas Pemilu 2024.

Anggota Dewan Pembina Perludem ini menyebutkan sejumlah pasal dalam UUD 1945 terkait HAM dalam pemilu. Di antaranya, Pasal 22E ayat (1) yang menyebutkan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, setiap 5 tahun.

Berikutnya, Pasal 27 ayat (1) disebutkan, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, pemerintahan. Mereka wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, tanpa kecuali. Selanjutnya, Pasal 28H ayat (2) bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan serta manfaat sama guna mencapai persamaan keadilan.

Menurut Titi, makin dominannya barriers to entry dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden/pilkada (nomination threshold) serta ambang batas parlemen (parliamentary threshold) membuat parpol terhambat mencalonkan kader-kader terbaiknya untuk pilpres/pilkada. Ini bisa memunculkan fenomena calon tunggal.

"Selain itu, ambang batas parlemen membuat banyak suara sah terbuang atau suara hangus karena tidak bisa dikonversi menjadi kursi," tandas Titi. Di lain pihak, mahar politik (candidacy buying) membuat kesetaraan akses pada pencalonan menghambat para kandidat potensial untuk maju berkompetisi.

Soal ketidakadilan akses dan perlakuan di antara peserta pemilu, menurut Titi, atensi pemilih atau publik didominasi pilpres. Mereka tidak acuh pada pemilu anggota legislatif, sehingga tingkat pengawasan lemah pada proses pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, serta DPRD.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top