Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Cegah Resistensi Antibiotik dengan Teknologi Antimicrobial Stewardship

Foto : ISTIMEWA

cegah resisten antibiotik

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Resistensi antibiotik atau Antimicrobial Resistance (AMR) menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merupakan salah satu dari sepuluh ancaman kesehatan masyarakat di dunia. Terutama di negara berkembang dan dapat menjadi penyebab 10 juta kematian per tahunnya di seluruh dunia pada 2050.

Hasil survei Global Hygiene & Health Essity 2022 terhadap lebih dari 15.000 orang di 15 negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terkait bahaya AMR masih rendah. Untuk itu Essity terus mendukung adanya kolaborasi untuk mencegah dan menurunkan AMR.

Kementerian Kesehatan menyebut AMR saat ini bisa dikatakan sebagai pandemi senyap (silent pandemic) karena angka kematiannya cukup tinggi. Pada 2030, diperkirakan penggunaan antibiotik di seluruh dunia akan meningkat sebesar 30 persen, bahkan semakin meningkat sebesar 200 persen jika AMR tidak benar-benar ditangani dengan baik.

Sementara itu data WHO Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) sebagai data acuan nasional terkait AMR di Indonesia menunjukkan peningkatan persentase AMR di Indonesia pada tahun 2019. AMR akan meningkatkan kemiskinan dan berdampak terutama pada negara berpenghasilan rendah dibandingkan dengan negara lain di dunia.

"Kita tidak bisa menunggu. Masalah AMR perlu menjadi perhatian utama dan penting selain pandemi Covid-19," kata Direktur Komersial Essity Indonesia, Gustavo Vega, melalui media briefing Selasa (29/11).

Ketua Pusat Resistensi Antimikroba Indonesia (Praindo) dr. Harry Parathon, Sp.OG (K), mengatakan, resistensi antimikroba (AMR) terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan. Hal ini membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit hingga kematian.

Secara global, gerakan pengendalian AMR sudah berjalan, salah satunya dengan usaha penerapan Antimicrobial Stewardship (AMS). AMS menjadi strategi untuk memerangi peningkatan AMR dengan berfokus pada penggunaan antimikroba yang tepat guna oleh profesional kesehatan.

"Caranya dengan mengikuti aturan dan pedoman yang sudah ditetapkan, meningkatkan hasil perawatan pasien, mengurangi resistensi mikroba, dan mengurangi penyebaran infeksi yang disebabkan oleh organisme yang resisten terhadap obat. AMS menjadi penting di semua area perawatan kesehatan termasuk area spesialis manajemen luka," ujar dia.

Salah satu area yang saat ini masih memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang tinggi adalah perawatan luka. AMR mempengaruhi prosedur manajemen luka karena luka dapat menjadi saluran infeksi, memungkinkan masuknya mikroba, termasuk yang resisten antimikroba ke dalam jaringan.

Setidaknya ada 6 bakteri yang tidak dapat dilemahkan atau dimatikan oleh lebih dari 1 golongan antibiotik. Diantaranya Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Acinetobacter baumannii, dan Pseudomonas aeruginosa. "Keenam bakteri prioritas ini sekaligus menjadi penyebab kematian ini ada di Indonesia," ujar dia.

Infeksi yang disebabkan oleh bakteri resisten antibiotik lebih sulit untuk diobati dan menyebabkan biaya pengobatan yang lebih tinggi, perawatan di rumah sakit yang lebih lama, dan meningkatkan kematian. Dengan mengendalikan mikroba, infeksi dapat dicegah dan dengan demikian mengurangi kebutuhan akan antibiotik .

Sekitar 70 persen bakteri penyebab infeksi pada luka, resisten terhadap sedikitnya 1 jenis antibiotik yang umum digunakan. Untuk itu perawatan luka dengan teknologi terkini seperti Dialkyl Carbamoyl chloride (DACC) coated wound dressings efektif mencegah AMR dan mempercepat kesembuhan luka pada pasien.

Produk Perawatan Luka

Marketing Director Essity Joice Simanjuntak, menjelaskan teknologi Sorbact dari Essity pembalut untuk perawatan luka yang dapat mencegah AMR berteknologi AMS. Cara kerjanya Sorbact mengikat mikroba dengan mekanisme kerja murni secara fisik sehingga mikroba menjadi tidak aktif, dan mengangkatnya tanpa membunuh.

"Penelitian kami membuktikan bahwa mekanisme ini tidak mengakibatkan AMR. Teknologi Sorbact dipergunakan dalam balutan luka kami yaitu Cutimed dan Leukoplast," katanya.

Berbeda dengan balutan antimikroba lainnya yang secara aktif membunuh mikroba, balutan luka ini terbuat dari Dialkyl Carbamoyl chloride (DACC) yang bersifat hidrofobik, mengikat beberapa jenis mikroba secara permanen, dan mengurangi jumlah organisme di permukaan luka sehingga proses penyembuhan luka lebih cepat.

Penelitian menyatakan, Sorbact mampu menurunkan angka Infeksi Daerah Operasi (IDO) sampai dengan 65 persen dibandingkan standar dressing, dan bahkan mampu mengikat 5 bakteri patogen utama WHO. Sorbact tidak memiliki kontraindikasi dan risiko alergi yang rendah sehingga dapat digunakan pada bayi baru lahir, wanita hamil dan menyusui.

Terbukti dalam lebih dari 40 studi klinis dan dalam publikasi yang mencakup lebih dari 7.000 pasien, Sorbact berhasil digunakan selama lebih dari 30 tahun dalam praktik klinis. Sampai saat ini Sorbact telah membantu pasien di lebih dari 65 negara di seluruh dunia.

"Produk perawatan luka seperti Dialkylcarbamoyl chloride coated wound dressings (Cutimed Sorbact dan Leukoplast Leukomed Sorbact) dapat dipergunakan oleh pasien untuk perawatan luka pasca operasi dan juga luka kronis, seperti luka kaki diabetes, luka tekan akibat tirah baring," kata dia.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top