Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Tantangan Perekonomian I Penerimaan Pemerintah pada 2023 Lebih Terbatas

Cari Sumber Penerimaan yang Stabil dalam Jangka Panjang

Foto : ISTIMEWA

TEUKU RIEFKY Pengamat Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia - Belanja harus diarahkan untuk memperkuat pemulihan ekonomi dan reformasi struktural dengan mendorong belanja yang berkualitas.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Perekonomian Indonesia pada tahun ini diperkirakan tidak sebaik pencapaian tahun 2022 lalu. Hal itu didasarkan pada beberapa indikator yang bisa memengaruhi pertumbuhan tahun ini, khususnya surplus neraca perdagangan karena kenaikan harga komoditas.

Pengamat Ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, di Jakarta, Minggu (5/2), mengatakan penerimaan negara kemungkinan tidak akan setinggi tahun 2022 karena harga komoditas diperkirakan akan turun akibat permintaan global yang menurun.

"Prospek suram dari potensi resesi global dapat semakin mengoreksi harga komoditas, sehingga penerimaan pemerintah pada 2023 mungkin akan terbatas," kata Riefky.

Tak dapat dipungkiri, commodity windfall menguntungkan posisi fiskal Indonesia pada 2022 lalu, sehingga penerimaan negara tumbuh 18 persen dari tahun sebelumnya. Harga komoditas yang tinggi menjaga surplus perdagangan sepanjang 2022, sehingga di sisi moneter juga membantu Bank Indonesia (BI) menjaga ruang moneter.

Dampak positif dari lonjakan harga komoditas pada transaksi berjalan dan kurs rupiah itu kemungkinan akan berakhir dalam waktu dekat seiring dengan tren penurunan harga-harga komoditas karena ekonomi global melambat.

Untuk mempertahankan tingkat defisit anggaran di bawah tiga persen, pemerintah, kata Riefky, harus fokus mencari sumber-sumber pendapatan negara lainnya yang stabil dalam jangka panjang.

"Selain itu, belanja harus diarahkan untuk memperkuat pemulihan ekonomi dan reformasi struktural dengan mendorong belanja yang berkualitas," kata Riefky.

Peran APBN sebagai "shock absorber" dalam menghadapi risiko global yang semakin meningkat saat ini mau tidak mau harus dipertahankan.

Bagi otoritas moneter, dia mengimbau BI agar mengantisipasi berbaliknya surplus perdagangan dengan menguatkan seluruh kebijakan terkait stabilisasi nilai tukar rupiah, termasuk upaya menurunkan inflasi dari harga-harga di luar negeri.

Kebijakan moneter BI perlu menjaga perbedaan imbal hasil (yield) antara obligasi pemerintah dan treasury bonds di Amerika Serikat (AS) agar tetap atraktif guna mengantisipasi arus modal keluar dan gejolak nilai tukar.

Dalam waktu menengah dan panjang, pemerintah, katanya, perlu fokus pada reformasi struktural agar mendukung pertumbuhan ekspor nonkomoditas dan meningkatkan hilirisasi industri pengolahan guna mengurangi kebergantungan pada ekspor komoditas yang harganya sangat volatilitas karena pengaruh eksternal.

Pasar Domestik

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Achmad Maruf, mengatakan asumsi resesi akan menekan pertumbuhan ekonomi pada 2023 memang beralasan. Namun kabar baiknya, hingga lewat Januari, tanda-tanda resesi belum memberi tekanan seperti yang dikhawatirkan.

"Sekarang tahun berganti saatnya fokus pada psikologi pasar bahwa ekonomi domestik bisa kuat menghadapi tekanan ekonomi global," papar Maruf.

Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga pada Produk Domestik Bruto (PDB) di atas 50 persen maka konsumsi domestik harus dipacu sebagaimana kampanye Presiden Jokowi.

Di sektor pariwisata misalnya, setelah PPKM dilonggarkan, wisata domestik terus tumbuh berkembang menyelamatkan ekonomi nasional. Sebab itu, harus terus didorong dengan memberi insentif yang memungkinkan, ketimbang menunggu wisatawan mancanegara yang tak kunjung datang karena memang mereka juga menghadapi ancaman krisis.

"Pada saat yang sama, belanja pemerintah harus dipacu dan tidak ditumpuk pembelanjaannya pada kuartal ketiga dan keempat. Belanja negara sejak awal harus dikebut agar bisa menggerakkan pasar," kata Maruf.

Sementara itu, peneliti ekonomi Core, Yusuf Rendi Manilet, mengatakan ekonomi dunia tahun ini, meskipun diprediksi tumbuh lebih lambat, namun masih punya peluang lolos dari resesi ekonomi.

Ekonomi negara-negara barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa mungkin rentan karena lonjakan inflasi dan pengetatan moneter. Namun, Tiongkok yang menjadi mitra dagang terbesar banyak negara termasuk Indonesia menunjukkan indikasi perbaikan.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top