Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Rupiah Masih Melanjutkan Pelemahan

Bunga BI Harus Lebih Tinggi agar Rupiah Tetap Menarik

Foto : ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) semestinya lebih responsif dalam menaikkan suku bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate, untuk mencegah pelemahan rupiah. Untuk itu, BI harus berani mendahului dengan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi, bukan menunggu Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed menaikkan bunga acuan, Federal Fund Rate (FFR), lebih dahulu. Sementara itu, nilai tukar rupiah pada perdagangan, Rabu (3/10), masih melanjutkan pelemahan.

Menurut data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup 32 poin atau 21 persen lebih rendah ke level 15.075 rupiah per dollar AS. Pada Selasa (2/10), mata uang RI itu turun tajam 132 poin (0,89 persen) menjadi 15.043 rupiah per dollar AS. Posisi rupiah kali ini merupakan level terlemah sejak krisis keuangan 1998.

Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan suku bunga acuan BI sebenarnya menjadi penentu dari bunga yang ditawarkan surat utang pemerintah, karena di situ spread atau selisihnya dengan bunga obligasi pemerintah AS bisa dihitung. Saat ini, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun mencapai 8,22 persen, sedangkan yield US-Treasury menyentuh 3,05 persen. Artinya, yield spread SBN 10 tahun dan Treasury tenor yang sama sebesar 5,17 persen.

"Kalau spread-nya hanya 5,17 persen dinilai kurang menarik. Investor lebih memilih masuk ke surat utang AS daripada beli SBN Indonesia. Idealnya, yield spread di atas tujuh persen untuk kompensasi risiko investor memegang surat utang Indonesia," papar Bhima, saat dihubungi, Rabu (3/10).

Baca Juga :
Paparan Kinerja

Dengan begitu, lanjut Bhima, ini artinya ada space sampai 200 basis poin (bps) kenaikan bunga acuan yang harus dikejar BI agar investor masih tertarik memegang rupiah. Yield spread rupiah dan dollar memang harus tinggi, karena risiko fundamental Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan AS, terutama defisit transaksi berjalan.

Hal senada dikemukakan ekonom Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Achmad Ma'ruf. Dia mengatakan jika reaksi BI terlambat dalam menaikkan bunga maka tidak akan menyelesaikan masalah. Buktinya, rupiah terus melemah meskipun bunga acuan BI dinaikkan. "Ini seperti harga barang, jika sudah terlanjur naik akan susah turun walaupun inflasi turun," jelas dia.

Jadi, tukas Ma'ruf, kebijakan reaktif tidak akan memperbaiki. Apabila bertujuan mencegah pelemahan rupiah, BI harus berani mendahului dengan kenaikan bunga bunga tinggi. "Jika tidak maka rupiah bakal terus melemah karena spread di bawah tujuh persen dinilai belum cukup mengompensasi risiko Indonesia.

Investor akan berpikir, buat apa pegang rupiah kalau merugi," imbuh dia. Sebelumnya, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Tony Prasetiantono, menilai ada dua penyebab pelemahan rupiah. Pertama, pasar merasa bunga acuan BI belum cukup atraktif bagi investor untuk memegang rupiah.

"Jika dihitung dari level terendahnya, The Fed sudah menaikkan suku bunga sampai 200 bps (basis poin). Sedangkan BI baru 150 bps dari 4,25 persen ke 5,75 persen. Berarti memang perlu suku bunga yang lebih atraktif lagi," jelas Tony. Faktor kedua, adalah kenaikan harga minyak global yang memberi sentimen negatif bagi kondisi fiskal Indonesia.

Risiko Macet

Bhima menambahkan pemerintah harus segera mencari opsi selain mengutak- atik suku bunga. Investor yang melihat fundamental ekonomi biasanya lebih perhatian ke kebijakan jangka menengah, defisit transaksi berjalan, dan stabilitas regulasi menjelang pemilu serentak.

Ma'ruf juga menambahkan BI memang menghadapi dilema jika menerapkan bunga acuan tinggi, yakni meningkatnya risiko kredit macet, khususnya kredit properti, akibat kenaikan bunga kredit perbankan.

"Ada risiko akibat bubble properti yang outstanding kreditnya mencapai 900 triliun rupiah. Kenapa ini dibiarkan. Jika sudah terlanjur begini, diperbaiki dengan suku bunga pun belum tentu efektif," tutur dia. Sebab, menurut Ma'ruf, properti tidak sensitif dengan pergerakan suku bunga.

"Lihat saja, bagaimana penilaian harga aset properti bisa naik 500 persen dalam delapan tahun. Ini kan sangat tidak wajar, sehingga menambah risiko perbankan jika sampai kreditnya macet," ungkap dia.

ahm/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top