Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pantura

Budaya Mistis yang Tetap Eksis

Foto : KORAN JAKARTA/Teguh Rahardjo
A   A   A   Pengaturan Font

Kesenian tradisional di Indonesia sudah banyak dipelajari di luar negeri, bahkan para pemainnya pun orang asing. Misalnya Tari Saman dari Aceh,Reog dari Ponorogo atau Pendet dari Bali.

Persoalan yang muncul, bukan melulu ditiru dan dimainkan dalam sebuah pagelaran, namun juga filosofi dari kesenian itu banyak menarik minat peneliti asing untuk mempelajarinya. Apalagi kesenian tradisional atau budaya Indonesia masih sangat kental atau berbau mistis.

Di Jawa Barat, sejumlah kesenian yang kental dengan nuansa mistis masih terus eksis dan siap mendunia. Misalnya dari kawasan pantai utara (pantura) Cirebon dan Indramayu.

Berbicara kebudayaan Pantura tentunya tak lepas dari budaya pantainya. Ungkapan rasa syukur atas pemberian Tuhan terkait hasil panen ikan laut memunculkan budaya pesisir yang disebut nadran. Sebuah kegiatan yang tidak hanya menampilkan karnaval kesenian tetapi juga memasukkan unsur spiritualitas agama atau lebih kental nuansa mistis.

Sintren

Unsur mistis ini muncul karena setiap kali digelar, tak lupakeberadaan dupa dan kemenyan, atau kembang tujuh warna ikut hadir di dalamnya.Aura mistis ini kental pada pagelaran sintren.

Pada pergelarannya, seseorang gadis akan ditidurkan di atas tikar dan kain kafan. Dalam keadaan tak sadar tubuhnya diikat dengan tambang, lalu ditutupi kain kafan dan terpal. Diiringi dengan musik khas pantura, tarling (gitar suling) dengan dinyanyikan lagu oleh sinden.

Di samping tubuhyang terbaring, ada sebuahkurungan ayam yang terbuat dari bambu, terlihat tertutup kain warna hitam. Sementara di sekelilingnya, para pawang sintren bersiap. Dengan setelan baju serba hitam pawang itu beberapa kali menabur kemenyan di atas tungku yang menyala. Aroma kemenyan pun menyeruak di tempat digelarnya pertunjukkan seni tari khas pesisir ini.

Tungku dengan asap kemenyan yang menyelimutinyadiedarkan mengelilingi kurungan dan pelaku sintrenyang terbaring. Dengan rapalan mantra khas bahasa Cirebonan, tubuh yang terbungkus kain kafan dan tikar itu kemudian dibuka dan ternyata sudah kosong.

Musik terus mengalun, dua orang penari lalu membuka kurungan dan ternyata gadis itu sudah berpindah ke dalam kurungan. Tidak lagi terikat namunsudah berganti baju dengan kostum penari sintren warna merah, mengenakan selendang, mahkota, dan kacamata hitam.

Sintren yang sudah berpakaian tradisional itu kemudian menari-nari dengan mata terpejam, seperti terhipnotis. Mengikuti penari lainnya yang bergerak berputar-putar di arena.

Anehnya, saat penonton melemparkan uang logam ke tubuh sintren, seketika tubuhnya terjatuh. Lalu dibangunkan kembali untuk kemudian menari.

Sintren ini juga mengajak penonton untuk ikut menari. Sintren melemparkan selendang kepada penonton. Penonton yang mendapat lemparan selendang harus mau menari bersama. Sintren akan mengikuti setiap gerakan tarian yang dilakukan penonton. Selama menari, ekspresi wajah sintren datar-datar saja, bahkan dingin.

Seni sintren memang banyak mengandung simbol. Seorang gadis yang diikat, simbol dari perlunya mengekang hawa nafsu. Gadis yang ditutup kain kafan menyimbolkan hidup akan berujung pada kematian. Keperawanan sendiri terkait dengan kacamata gelap yang senantiasa dikenakan sintren. Jika sintren itu perawan, begitu keluar dari kurungan penglihatannya tetap terang, auranya akan memancar dari wajah dan tariannya.(tgh/R-1)

Rudat

Selain sintren yang mistis dan magis, kesenian pantura lainnya yang juga kental dengan unsur magis adalah Rudat.

Kesenian tradisional khas Jabar ini berkembang sejak lama di wilayah Jabar dan Banten. Bahkan di wilayah pantura seperti Cirebon dan Indramayu, kesenian ini kembali dikenal masyarakat melalui kelompok kesenian Rudat Akrobat dari Kampung Bolang, Desa Jatisura, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu.

Dalam pergelarannya,mereka terkadang beraksimirip dengan aksi pencak silat untuk pamer kekuatan atau kekebalan. Sehingga jika di Banten dikenal dengan Debus maka di Indramayu dikenal dengan sebutan Genjring Akrobat. Pertunjukan berupa akrobat dilakukan dengan berbagai peralatan yang gampang dijumpai. Seperti tangga bambu, sepeda tua beroda satu, papan kayu dan sebagainya.

Atraksi ini mirip sirkus Rusia. Hanya saja kesenian Genjring Akrobat dalam atraksinya harus diiringi alat musik rebana. Bunyi nyaring rebana dan suara kencring-kencring dari lempengan tembaga di sisi rebana itulah yang kemudian menjadikan kesenian ini disebut Genjring. Nah, selama atraksi akrobat, selalu juga diisi dengan rudat, yakni tarian khas dengan iringan lagu shalawat atau bacaan ayat Al Quran.

Di Indramayu, Genjring Akrobat muncul dalam keseharian Pesantren Tambi Indramayu pimpinan dari Kiai Samad sekitar 1968.

Perkembangan seni ini tidak lepas dari perjuangan Sunan Gunung Jati di wilayah pantura, khususnya Cirebon dan Indramayu untuk menyebarkan Islam.

Dari berbagai catatan yang ada, Rudat mirip dengan seni Brai. Seni ini diperkirakan telah dikenal sejak abad ke-13 sebelum berdirinya Kesultanan Cirebon. Dari catatan Disbudpar Kabupaten Cirebon, konon ceritanya adatiga pemuda Timur Tengah bernama Sayid Abdillah, Abdurrakhman, dan Abdurrakhim diperintahkan orang tuanya mencari seorang bernama Syekh Nur Jati di Tanah Jawa (Cirebon) untuk berguru dan memperdalam ajaran Islam. Selama dalam perjalanan itulah mereka menyenandungkan syair-syair keagungan Allah dan rasul.

Mendengar irama itu, masyarakat yang belum mengenal Islam berbondong-bondong mengikuti tiga pemuda itu dari belakang hingga ke Gunung Ampara Jati pimpinan Syekh Nur Jati. Brai biasanya digelar pada malam Jumat, atau pada acara-acara tertentu, seperti tujuh bulan usia anak, lepas tali pusar atau puputan, dan acara-acara lain yang berkaitan dengan syukuran.

Bedanya, irama Genjring Rudat lebih keras, bergairah, dan beraturan. Sedangkan pada Brai, genjring ditabuh dengan sangat lembut dengan diselingi syair-syair. Pada awalnya rudat hanya dimainkan dalam kelompok kecil yang terdiri dari lima hingga sepuluh orang. Mereka bermain di masjid dan surau-surau.

Sejumlah aksi yang mengundang decak kagum adalah mengangkat pemain laki-laki usia baya dengan menggunakan kaki. Pemainnya tidur telentang di tanah. Atau ada yang unjuk gigi dengan mengangkat motor dengan kaki dan menggoyang-goyangkannya.

Salah satu pemain Rudat Akrobat dari Indramayu adalah Mimi Rubiyah. Usianya sudah tidak muda lagi, hampir enampuluh tahunan. Meski sudah tua, ternyata kekuatan kakinya sungguh luar biasa. Mampu mengangkat beberapa orang pria sekaligus.Rubiyah adalah salah satu performer dari Kesenian Rudat. tgh/R-1

Komentar

Komentar
()

Top