Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Buang Jauh-Jauh Sikap Rasis

Foto : Istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Kegagalan Inggris mengalahkan Italia di final kejuaraan sepak bola Eropa (euro 2020), Senin 12 Juli 2021 lalu, berbuntut panjang. Banyak pihak menyalahkan strategi yang dipilih pelatih Inggris Gareth Southgate dalam adu penalti setelah dalam waktu normal dan perpanjangan waktu, kedua tim, Italia dan Inggris bermain imbang.

Tiga penendang penalti Inggris yang gagal menyarangkan bola ke gawang Italia adalah tiga pemain muda yang tiga-tiganya merupakan pemain pengganti, iatu Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka. Bahkan Rashford dan Sancho baru masuk di menit ke-120 menjelang adu penalty dilakukan.

Maksud pelatih menurunkan ketiga pemain tersebut menjelang babak perpanjangan waktu 2x15 menit berakhir tentu mereka dianggap sebagai kartu as yang akan menjadikan Inggris juara Eropa untuk pertama kalinya. Sayang kenyataanya tidak seperti yang diharapkan. Ketiganya gagal dan musnahlah harapan Inggris mencetak sejarah di kandang mereka.

Tiga penendang eksekusi yang gagal itu pun tak pelak menuai hujatan dari para pecinta tim three lions, julukan tim nasional sepak bola Inggris. Bahkan yang lebih parah, muncul hujatan berbau rasisme karena kebetulan ketiganya adalah imigran dan berkulit hitam.

Rashford meski lahir di Manchester, Inggris, tapi ayahnya berasal dari Saint Kitts dan Nevis, koloni Inggris di Karibia. Bukayo Saka keturunan Nigeria, dan Jadon Sancho keturunan Trinidad dan Tobago.

Fans Inggris yang kesal karena gagal melihat timnya juara melampiaskannya kepada ketiga pemain itu. Mereka mendapat pelecehan berbau rasial di sosial media. Pelecehan itu berlangsung masif dan membuat kepolisian metro London harus turun tangan untuk menyelidikinya. Sementara, FA (federasi sepak bola Inggris) menyayangkan aksi tidak sportif suporter Inggris di tengah kampanye anti-rasisme.

"Kami sebisa mungkin akan mendukung para pemain yang jadi korban, seraya meminta para pelaku dihukum seberat-beratnya. Kami akan melakukan apapun untuk mengenyahkan diskriminasi dari sepakbola. Tapi, kami juga meminta pemerintah bergerak cepat dan segera membuat peraturannya sehingga para pelaku pelecehan rasial bisa mendapatkan hukuman berat," ujar pernyataan resmi FA.

Dukungan pun mengalir dari sesame pemain sepak bola yang menjadi pendatang di Eropa. Karim Benzema pemain nasional Perancis anak imigran dari Aljazair yang kerap mendapat bully-an ketika masa mudanya menulis, ketika saya mencetak gol, saya Prancis. Tetapi kalau tidak saya orang Arab.

Penyerang Belgia yang bermain di klub Inter Milan (Italia) mengatakan, jika sesuatu berjalan dengan baik, saya adalah Lukaku, penyerang Belgia. Ketika semuanya tidak berjalan baik, saya adalah penyerang Belgia keturunan Kongo. Kemudian Mezut Ozil menyatakan, ketika kami menang saya adalah orang jerman, tetapi jika kalah saya adalah imgran.

Kekecewaan supporter Inggris gagal menyaksikan tim kebanggannya juara di kandang sebenarnya bisa dimaklumi. Tetapi kalau kekecewaan tersebut dilampiaskan dengan kerusuhan, tidak bisa dibenarkan. Apalagi kerusuhan berbau rasial seperti yang dialami Rashford, Saka, dan Sancho.

Hal yang terjadi di Inggris pun sebenarnya terjadi juga di Indonesia. Kita tentu ingat perjuangan Alan Budi Kusuma dan Susi Susanti yang berhasil "mengawinkan" emas bulutangkis di Olimpiade Barcelona 1992. Itu adalah medali emas Indonesia pertama sepanjang keikutsertaan Indonesia di pesta olahraga terbesar di dunia tersebut. Keduanya adalah pemain keturunan Tiongkok yang sudah sudah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Saat pulang ke tanah air, mereka disambut bak pahlawan tanpa ada satu kalimat pun yang mengtakan mereka adalah WNI keturunan.

Sikap itulah yang seharusnya dijiwai oleh seluruh penduduk Indonesia. Namun sayang, kerap kita jumpai perlakuan rasisme dalam kehidupan sehari-hari. Paling kasat mata dalam hal pelayanan publik, masih ada aparat yang menjadikan warga keturunan sebagai "makanan empuk" meraih rejeki.

Sudah seharusnya sikap rasis kita jauhkan dari kehidupan kita sehari-hari. Terlebih di olahraga yang sangat menjunjung tinggi sportivitas. Rasisme sudah bukan zamannya lagi.


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Aloysius Widiyatmaka

Komentar

Komentar
()

Top