Bilingualisme Membuat Konektivitas Otak Lebih Efisien
Foto: afp/ Karen MINASYANSebuah studi terkini menguraikan peran dwibahasa dalam kognisi, yang menunjukkan peningkatan efisiensi komunikasi di antara daerah-daerah otak.
Neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk membangun koneksi di dalam dirinya sendiri, beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Otak paling plastis di masa kanak-kanak, membentuk jalur baru sebagai reaksi terhadap rangsangan seperti bahasa.
Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa mempelajari bahasa kedua (dwibahasa) dapat berdampak positif pada perhatian, penuaan yang sehat, dan bahkan pemulihan setelah cedera otak.
Sebuah studi terkini dari The Neuro (Montreal Neurological Institute-Hospital) dari McGill University, University of Ottawa, Kanada, dan University of Zaragoza di Spanyol menguraikan peran dwibahasa dalam kognisi yang menunjukkan peningkatan efisiensi komunikasi antara wilayah otak.
Penelitian ini sendiri didanai dengan dukungan dari Dewan Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknik Kanada, Yayasan Keluarga Blema dan Arnold Steinberg, Pusat Penelitian Otak, Bahasa, dan Musik melalui Fonds de Recherche du Québec, Brain Canada, program Ketua Penelitian Kanada, program NextGeneration Uni Eropa, dan Program Margarita Salas dari Kementerian Universitas Spanyol.
Penelitian sebelumnya yang diterbitkan dalam Jurnal Neurolinguistik menunjukkan bahwa bilingual menunjukkan konektivitas yang lebih tinggi antara area pemrosesan visual yang terletak di bagian belakang otak, area yang terspesialisasi dalam mendeteksi karakteristik visual objek.
Bilingualisme sendiri adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa secara efektif. Sementara monolingualisme adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan satu bahasa, sedangkan multilingualisme adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan banyak bahasa.
Hasil penelitian dari para peneliti di Université de Montréal dan di Centre de recherche de L'Institut Universitaire de Gériatrie de Montréal menunjukkan bahwa bilingualisme memberikan dua manfaat kognitif dan keuntungan ganda seiring bertambahnya usia.
Pertama, mereka memiliki koneksi fungsional yang lebih terspesialisasi dan tersentralisasi yang menghemat sumber daya dibandingkan dengan area otak yang lebih beragam dan banyak yang digunakan oleh orang yang hanya berbicara satu bahasa untuk menyelesaikan tugas yang sama.
Kedua, orang yang berbicara dua bahasa memperoleh hasil yang sama dengan tidak menggunakan daerah frontal otak yang rentan terhadap penuaan.
Hal ini mungkin menjelaskan mengapa otak orang yang berbicara dua bahasa lebih mampu mencegah tanda-tanda demensia atau penuaan kognitif.
Berdasarkan catatan Multicultural America: A Multimedia Encyclopedia edisi tahun 2013 menyatakan bahwa lebih dari separuh populasi dunia adalah bilingual atau multilingual.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang bilingual sangat mahir menghemat daya otak tergantung pada tugas yang harus dilakukan. Bilingualisme selama bertahun-tahun mengubah cara otak menjalankan tugas yang membutuhkan konsentrasi pada satu bagian informasi tanpa terganggu oleh informasi lain. Hal itu membuat otak lebih ekonomis dan efisien dengan sumber dayanya serta merekrut lebih sedikit dan hanya area yang terspesialisasi.
Di sisi lain, para bilingual telah menjadi ahli dalam memilih informasi yang relevan dan mengabaikan informasi yang dapat mengganggu tugas karena bertahun-tahun menangani interferensi antara dua bahasa.
Orang dengan kemampuan bilingual menunjukkan konektivitas yang lebih tinggi antara area pemrosesan visual yang terletak di bagian belakang otak, area yang terspesialisasi dalam mendeteksi karakteristik visual suatu objek.
Orang bilingual juga tercatat ternyata memiliki dua manfaat kognitif dan keuntungan ganda seiring bertambahnya usia.
Berinteraksi
Untuk studi ini, para ilmuwan merekrut 151 peserta yang berbicara dalam bahasa Prancis, Inggris, atau kedua bahasa tersebut dan mencatat usia saat mereka mempelajari bahasa kedua. Peserta dipindai menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI) dalam keadaan istirahat untuk merekam konektivitas seluruh otak, alih-alih berfokus pada wilayah tertentu seperti yang dilakukan dalam studi bilingualisme sebelumnya.
Pemindaian fMRI mengungkapkan bahwa peserta bilingual memiliki konektivitas yang lebih tinggi antara wilayah otak dibandingkan peserta monolingual, dan konektivitas ini lebih kuat pada mereka yang mempelajari bahasa kedua di usia yang lebih muda. Efek ini khususnya kuat antara otak kecil dan korteks frontal kiri.
Hasil studi ini mencerminkan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa area otak tidak bekerja sendiri, tetapi berinteraksi dengan area lain untuk memahami dan menghasilkan bahasa. Penelitian juga menunjukkan bahwa efisiensi seluruh otak membantu kinerja kognitif.
Studi terbaru ini mengungkap lebih banyak tentang bagaimana bilingualisme mempengaruhi koneksi otak yang kita gunakan untuk berpikir, berkomunikasi, dan mengalami dunia di sekitar kita.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa mempelajari bahasa kedua selama masa kanak-kanak membantu membangun organisasi otak yang lebih efisien dalam hal konektivitas fungsional," kata Zeus Gracia Tabuenca, penulis pertama makalah tersebut.
"Hasilnya menunjukkan bahwa semakin awal pengalaman bahasa kedua, semakin luas area otak yang terlibat dalam neuroplastisitas. Itulah sebabnya kami mengamati konektivitas otak kecil yang lebih tinggi dengan korteks pada paparan bahasa kedua sebelumnya," imbuh dia. ils/I-1
Berita Trending
- 1 Akhirnya Setelah Gelar Perkara, Polisi Penembak Siswa di Semarang Ditetapkan Sebagai Tersangka
- 2 Jakarta Luncurkan 200 Bus Listrik
- 3 Krakatau Management Building Mulai Terapkan Konsep Bangunan Hijau
- 4 Kemenperin Usulkan Insentif bagi Industri yang Link and Match dengan IKM
- 5 Indonesia Bersama 127 Negara Soroti Dampak dan Ancaman Krisis Iklim pada Laut di COP29