Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Bertanggung Jawab dalam Berkomunikasi

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Ada dua peribahasa "Mulutmu, harimaumu" dan "Penamu adalah senjatamu." Artinya, kita harus mempertanggungjawabkan ucapan dan tulisan. Salah ucap, ataupun salah menulis, kemungkinan berdampak buruk, bisa saja dipenjara. Sudah banyak contoh yang sebenarnya bisa menjadi pelajaran. Apabila tidak hati-hati dalam berbicara, apalagi disengaja. Begitu juga sudah banyak yang terjerat hukum karena seenaknya menulis sesuatu di media sosial.

Kita ingin menyinggung soal yang kini ramai diperbincangkan tentang ribut para elite partai politik dipicu ucapan yang dinilai menyinggung partai lain. Dia juga dianggap bisa menyulut konflik akar rumput. Kebetulan dua kasus yang dimaksud relatif berdekatan waktunya.

Ucapan Wakil Ketua umum Partai Gerindra FX Arief Poyuono atas dugaan penghinaan melalui media elektronik sebagaimana Pasal 156 KUHP dan pasal 45A UU ITE. Dalam pernyataannya, Arif menyebut kader PDI-P sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ini tentu membuat kader PDIP marah dan menuntut Arief mempertanggungjawabkan pernyataannya. Meski menyadari kekeliruan dan sudah minta maaf, Arief tetap dilaporkan ke Polda Jatim, Rabu (2/8) lalu.

Pengurus organisasi sayap PDI Perjuangan, Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jatim melaporkannya ke Mapolda Jatim. Laporan yang sama, Selasa kemarin juga sudah dimasukkan ke Polda Metro Jaya oleh pengurus DPP Rapdem. Partai Gerinda sendiri bukan saja sudah mengingatkan, tetapi akan memberi sanksi pada Arief.

Kemudian, pidato Ketua Fraksi Partai Nasdem Victor Bungtilu Laiskodat di acara deklarasi calon bupati Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), 1 Agustus 2017 yang menyulut kemarahan elite empat parpol. Victor menyebut, Partai Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS mendukung kelompok yang ingin membuat negara ini berbentuk khilafah. Celakanya, kata Victor, partai-partai pendukung khilafah ada juga di Nusa Tenggara Timur (NTT). Keempat partai itu dikatakan mendukung ekstremis tumbuh di NTT.

Sontak, pidato menimbulkan reaksi elite empat partai dan elemen masyarakat. Victor dituntut minta maaf secara terbuka, namun yang bersangkutan tetap bergeming. Keempat parpol kemudian melaporkannya.

Kita ingin menggarisbawahi, kini era keterbukaan. Namun demikian, keterbukaan yang makin didukung kemajuan teknologi informasi serta dipermudah dengan makin canggihnya perangkat telepon genggam harus disikapi secara bertanggung jawab. Artinya, kita diberi kebebasan sistem politik dan dimudahkan teknologi. Namun, etika dan tanggung jawab harus dipegang. Tanpa itu saling tuding, hujat dan klaim paling benar.

Dua kasus elite partai dan menjadi contoh agar semua menjaga ucapan dan tulisan. Apa yang akan diucapkan di depan publik dan tulis untuk dibaca publik harus berdasarkan data, fakta, dan menghindari tudingan, apalagi hujatan.

Elite parpol yang notabene kelompok berpendidikan, serta berpengalaman dan memiliki akses informasi luas harus memberi contoh agar bisa diteladai masyarakat. Mereka juga harus menjadi agen perubahan dan motivasi saling menghormati.

Baca Juga :
Bonus Thomas Cup

Jika para elite sudah memberi teladan terpuji, mudah-mudahan berdampak positif bagi perkembangan masyarakat dan demokrasi di tanah air. Jangan sampai publik yang awam dibingungkan pernyataan, protes, serta konflik para elite. Mereka harus menghentikan kontroversi.

Komentar

Komentar
()

Top