Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Penularan

Berpotensi Jadi Pandemi, Indonesia Mewaspadai Virus Marburg

Foto : ISTIMEWA

Gambaran virus Marbrug dari hasil komputerisasi.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah akan mengawasi pelaku perjalanan dari Afrika, khususnya Guyana Ekuatorial, menyusul temuan baru kasus virus Marburg. Selain Guyana Ekuatorial, negara tetangganya, Kamerun, juga ditemukan dua kasus suspek.

Dikutip dari British Broadcasting Corporation (BBC), Selasa (21/2), seorang epidemiolog mengatakan kasus virus Marburg semakin intensif, membuka potensi yang makin meluas menjadi pandemi, sementara sistem kesehatan Indonesia disebut "rawan".

"Kalau ada riwayat perjalanan, untuk diminta melapor ke fasilitas kesehatan, ketika masuk negara kita," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi.

Jika pelaku perjalanan mengalami gejala seperti demam, nyeri otot, muncul diare, akan dilakukan uji pengurutan genom pada pelaku perjalanan tersebut. Sejauh ini, lanjut Nadia, Indonesia belum memiliki riwayat keberadaan kasus virus Marburg. "Indonesia tidak pernah, dan negara-negara tetangga juga tidak pernah," katanya.

Nadia mengeklaim penularan virus Marburg tidak secepat Covid-19. "Penularannya tidak mudah. Ini lewat cairan tubuh. Jadi air liur, jadi makanya tidak terlalu khawatir lewat saluran pernapasan," katanya.

Intensitas temuan kasus virus Marburg sejauh ini mengalami peningkatan. Berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), kasus penyakit virus Marburg terjadi tiga tahun terakhir berturut-turut sejak 2017.

Semakin Intensif

Sementara itu, ahli epidemiologi dari Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, mengatakan WHO sudah menyatakan virus Marbrug berpotensi menjadi pandemi sejak 2018. Sebab, wabahnya semakin intensif dalam tiga tahun terakhir.

"Kekerapannya drastis, yang membuat ini harus disikapi serius. Karena ada sesuatu yang berpotensi berbahaya, entah itu karakter virusnya yang bermutasi atau ada faktor vektor atau hewan pembawa virus ini," kata Dicky.

Selain itu, masa inkubasi virus Marburg bisa mencapai tiga minggu. Artinya, orang yang terinfeksi memiliki waktu yang lebih lama untuk bisa membawa serta virus tersebut ke lokasi lain sampai menimbulkan gejala.

"Besar kemungkinannya terjadi dalam waktu dekat karena arus mobilitas sangat tinggi," jelas Dicky yang memperingatkan wabah bisa melompat ke benua lain karena sistem transportasi udara yang mudah saat ini. "Sangat besar kemungkinan terjadi di negara yang sistem kesehatannya lemah," tambahnya.

Status keamanan ketahanan kesehatan nasional Indonesia sejauh ini disebut Dicky dalam posisi yang selalu rawan terhadap ancaman wabah. Penyebabnya, surveilans (pengawasan) kesehatan belum didukung dengan sumber daya dan teknologi yang memadai, misalnya dalam pintu masuk dari luar negeri.

Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus-menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit guna bisa mengambil tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien. Padahal, ujar Dicky, pemerintah saat ini memiliki PeduliLindungi yang bisa dimanfaatkan.

"PeduliLindungi perlu di-maintenance, eskalasinya ditingkatkan, supaya bisa tangkap orang-orang yang begini (membawa virus). Bisa dipantau sama otoritas kesehatan di daerah," katanya.

Ia juga tak setuju untuk menutup pintu bagi pelancong dari Guyana Ekuatorial dan Kamerun. "Akan tetapi, pemerintah perlu lebih memperhatikan para pendatang dari Afrika, dari negara terdampak, semacam ada karantina," katanya.

Pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih, meminta pemerintah tidak lengah terhadap wabah Marburg. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan untuk pengawasan, baik di pintu-pintu masuk Indonesia dan di puskesmas diperlukan.

"Sekarang ini kita dalam keadaan mode preparedness atau kesiapsiagaan. Nah, untuk meningkatkan survailens harus meningkatkan komitmen anggaran," katanya.

WHO melaporkan kasus wabah pertama virus Marburg di Guyana Ekuatorial, bagian barat Afrika Tengah pada 7 Februari. Per 13 Februari 2023, telah dilaporkan satu kasus konfirmasi, 16 kasus suspek, dan sembilan kematian. Gejala yang timbul di antaranya demam, lemas, diare, dan muntah darah.

WHO telah mengerahkan tenaga kesehatan untuk melacak orang yang berkontak, mengisolasi, dan memberikan perawatan kepada mereka yang menunjukkan gejala tersebut.

"Marburg sangat menular. Berkat tindakan cepat dan tegas oleh otoritas Guyana Ekuatorial dalam mengonfirmasi penyakit tersebut, tanggap darurat dapat dilakukan dengan cepat sehingga kami bisa menyelamatkan nyawa, dan menghentikan virus sesegera mungkin," kata Direktur Regional WHO untuk Afrika, Matshidiso Moeti.


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top