Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Inflasi Tahun Berjalan Januari-September 2022 Sudah 4,84%

Belum Direalisasikan, Asumsi Makro APBN 2023 Berpotensi Meleset

Foto : Sumber: DPR RI
A   A   A   Pengaturan Font

» Penurunan asumsi pertumbuhan ekonomi karena beban utang di APBN yang makin tinggi.

» Sekitar 80 persen impor merupakan impor bahan baku, lalu 10 persen lainnta barang modal.

JAKARTA - Beberapa asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 yang sudah ditetapkan berpotensi meleset dari target. Asumsi yang berpotensi meleset mulai dari Pertumbuhan Ekonomi yang ditargetkan 5,3 persen, lalu inflasi 3,6 persen dan nilai tukar rupiah 14.800 per dollar AS.

Potensi melesetnya asumsi makro tersebut sangat besar karena sejumlah lembaga keuangan global juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti IMF yang memperkirakan hanya di level 5 persen.

Selain itu, sepanjang tahun berjalan inflasi sudah mencapai 4,84 persen, sedangkan kurs rupiah sudah menembus level psikologis 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS).

Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan, penurunan asumsi pertumbuhan disebabkan beban utang pada APBN yang makin tinggi.

"Ini karena beban utang kita semakin tinggi. Kondisi kita jangan disamakan dengan utang Jepang. Mereka punya utang tapi juga mengutangkan uangnya ke Kanada, AS, Korea dan negara lainnya, sehingga yen dan ekonominya semakin kuat. Sedangkan utang luar negeri kita tidak hanya pada IMF, Bank Dunia, tapi juga banyak negara," kata Suroso.

Meskipun ada empat negara asing yang sudah membebaskan utang Indonesia, tapi nilainya relatif kecil. Ini yang menyebabkan rupiah cenderung terus merosot. Begitu juga dengan pertumbuhan (yang merosot). Asumsi 5 persen itu karena ada konsumsi rumah tangga.

"Dulu saat pandemi pertumbuhan kita juga masih tertolong oleh konsumsi rumah tangga, bukan ekonominya yang meroket. Maka dengan ini, sebaiknya utang-utang besar yang sudah disetujui, sebaiknya dipertimbangkan lagi, jangan dulu menambah utang, karena akan semakin memberatkan ke depan," terangnya.

Impor Bahan Baku

Rekan Suroso dari Unair, Rossanto Dwi Handoyo mengatakan pemerintah harus mewaspadai apabila depresiasi rupiah ini terus berlanjut ke angka psikologis pasar. Misalnya angka psikologis 16 ribu rupiah, Bank sentral dan pemerintah punya kepentingan untuk intervensi.

Nilai tukar rupiah yang melemah di angka lebih dari 15.000 saat ini kata dia belum bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan dari sisi kebijakan karena bisa saja ini hanya bersifat sementara.

"Yang dipikirkan itu jika ini berlangsung tiga hingga enam bulan ke depan (jangka menengah dan panjang) dan pelemahannya mencapai angka psikologis tadi. Saat ini bank sentral dan pemerintah harus mengintervensi karena kondisi ini bakal membuat investor panik. Jika demikian maka yang terjadi bukan hanya capital outflow tetapi capital flight, sehingga perlu diintervensi.

Apabila nilai tukar rupiah terus terdepresiasi cukup dalam, dan terjadi untuk jangka menengah dan panjang maka akan berpengaruh pada harga barang di tingkat konsumen. Sebab, sekitar 80 persen impor kita itu merupakan impor bahan baku, lalu 10 persennya barang modal. Artinya, impor digunakan untuk memproduksi suatu barang.

"Kalau biaya produksi meningkat maka pengusaha akan menaikan harga yang akan membebani konsumen. Ini yang disebut imported inflation, inflasi yang naik karena kenaikan harga barang impor. Kondisi ini harus diwaspadai pemerintah karena. Dalam konteks ini masyarakat harus dilindungi," kata Rossanto.

Langkah seperti itu lanjut Rossanto perlu disiapkan dalam APBN tahun depan. Ia juga berharap agar APBN tahun depan tidak jor-joran mengucurkan subsidi. Subsidi itu harus tepat sasaran, tidak semuanya harus dikasih subsidi. Misalnya dikasih ke pengrajin tahu dan tempe karena kenaikan harga kedelai yang bersumber dari impor, sehingga mereka terpaksa menaikan harga tahu dan tempenya.

"Mereka inilah yang harus diberi subsidi supaya tidak menaikan harga tahu dan tempenya. Skema seperti ini pernah diterapkan sebelumnya dan sukses. Pemerintah bisa bekerja sama dengan Pemda kan ada Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID),"ujarnya.

Skema seperti itu lanjutnya bisa pula diterapkan untuk petani dan nelayan, mereka disubsidi supaya harga barangnya tidak naik.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top