Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Anggaran - Pemerintah Dinilai Hadapi Tekanan Likuiditas

Beban Utang RI Kian Bengkak, Setop Bunga Obligasi Rekap

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Beban pembayaran bunga utang pemerintah tercatat semakin membengkak setiap tahun, bahkan tahun ini pembayaran bunga mencapai 11 persen dari APBN.

Padahal, setiap pembayaran bunga itu akan menjadi pokok utang baru karena anggaran negara mengalami defisit keseimbangan primer.

Oleh karena itu, pemerintah harus menyetop pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) demi terwujudnya anggaran negara yang sehat dan terhindar dari fenomena gali lubang tutup lubang utang.

"Obligasi rekap eks BLBI ibarat penyakit kronis yang sudah seharusnya mendapat penanganan serius. BLBI itu seperti kanker ganas. Kalau tidak disetop maka APBN akan lumpuh," kata pengamat ekonomi dari Ibnu Kaldun, Ahmad Iskandar, saat dihubungi, Jumat (14/7).

Menurut Iskandar, saat Indonesia hanya memiliki utang luar negeri, pergerakan roda perekonomian nasional masih berjalan dengan baik. Namun, sejak pascareformasi, utang di dalam negeri berupa obligasi rekap BLBI justru kian menumpuk sehingga menyulitkan perekonomian Indonesia.

"Dengan adanya obligasi rekap ini perekonomian kita menjadi mandul. APBN hanya untuk membiayai kegiatan rutin pegawai negeri yang nggak produktif," kata dia. Maka dari itu, kata Iskandar, solusi yang tidak bisa ditawar lagi adalah menghentikan bunga obligasi rekap.

Pasalnya, jika tidak dihentikan, utang negara bisa terus membengkak dan tak terbayar lagi. "Karena kita itu miskin anggaran.

Kalau penerimaan defisit terus, bisa sampai 2100 atau bahkan sampai kiamat nggak akan selesai. Apalagi 70 triliun rupiah tiap tahun untuk bayar bunga obligasi rekap ini sebenarnya bisa untuk belanja yang produktif," papar dia.

Ekonom Faisal Basri dalam ulasan di blog-nya juga mengingatkan pemerintah bahwa faktor APBN yang paling berpotensi menimbulkan instabilitas makroekonomi. Pertama, sejak 2012 APBN mengalami defisit keseimbangan primer.

Berarti, pendapatan pemerintah pusat dikurangi pengeluaran pemerintah pusat di luar pembayaran bunga utang mengalami defisit. Keseimbangan primer yang tekor mengindikasikan pemerintah harus berutang untuk membayar bunga utang.

"Dengan kata lain, pemerintah menghadapi tekanan likuiditas," ujar Faisal. Kedua, pembayaran bunga utang pemerintah kian merongrong APBN.

Pada 2015 pembayaran bunga menyedot 8,6 persen dari pengeluaran total. Sebagai perbandingan, menurut dia, Amerika Serikat yang nisbah utangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia hanya menyisihkan 6 persen dari APBNnya untuk membayar bunga.

"Beban bunga naik menjadi 9,8 persen pada 2016 dan naik lagi menjadi 10,9 persen pada APBN 2017," ungkap Faisal Ketiga, imbuh dia, pada tahun 2017, pembayaran bunga utang telah menyamai belanja modal, yaitu sebesar 221 triliun rupiah, empat kali lipat ketimbang pengeluaran sosial yang hanya 56 triliun rupiah.

"Beban bunga naik tajam karena pemerintah lebih gencar berutang."

Beban Rakyat

Sementara itu, Direktur Indef, Enny Sri Hartati, mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menambah utang agar tidak menambah beban rakyat. Penggunaan utang seharusnya juga untuk sektor produktif, bukan untuk menutupi beban utang lama atau gali lubang tutup lubang.

Terkait utang, lanjut dia, pemerintah juga harus memperhatikan defisit keseimbangan primer.

Saat ini, defisit keseimbangan primer Indonesia membengkak. Hal itu berarti penambahan utang lebih banyak menambah beban daripada menambah penghasilan negara.

Seperti dikabarkan, Wapres Jusuf Kalla, mengungkapkan ada dua kebijakan keliru yang dilakukan pemerintah sehingga menghabiskan anggaran 6.000 triliun rupiah. Kebijakan itu menjadi salah satu penyebab ketertinggalan Indonesia dari negara-negara tetangga.

Dia mengatakan Indonesia mengalami kerugian banyak pada krisis ekonomi 1997-1998 akibat kredit macet perbankan.

Jika kerugian dikonversi ke rupiah pada tahun itu sangatlah besar. Kesalahan pemerintah adalah melakukan penjaminan sehingga menerbitkan blanket guarantee dan BLBI dengan nilai total 600 triliun rupiah.

"Kalau diukur dengan bunganya dan nilai saat ini, itu nilainya setara bisa sampai 3.000 triliun rupiah," papar Wapres. Kesalahan kedua, pemberian subsidi yang sangat besar, terutama untuk bahan bakar minyak pada 2013-2014 dengan nilai 400 triliun rupiah. Dalam sepuluh tahun pemerintahan sebelumnya, subsidi mencapai 3.000 triliun rupiah. ahm/WP

Komentar

Komentar
()

Top