Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Kasus BLBI Harus Dituntaskan agar Tak Jadi Warisan Masalah

Beban Obligasi Rekap BLBI Tak Bisa Terus Didiamkan

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Akumulasi bunga berbunga obligasi rekap membuat utang negara terus melambung.

Beban utang BLBI mengakibatkan keuangan negara mengalami defisit ganda.

JAKARTA - Pemerintah mesti mengantisipasi potensi kenaikan biaya utang luar negeri Indonesia menyusul mengetatnya likuiditas global yang terkuras akibat kebijakan reformasi pajak yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.

Sebab, selama ini kebergantungan Indonesia terhadap dana global sangat besar. Untuk itu, pemerintah tidak boleh terus mengabaikan membengkaknya utang negara hingga mencapai 4.000 triliun rupiah dalam dua dekade terakhir, akibat menanggung beban bunga berbunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Keuangan negara akan sulit bertahan jika pemerintah terus mendiamkan bunga di atas bunga obligasi rekap. Sebab, pemerintah hanya bisa membayar beban bunga itu dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang juga berbunga.

Ekonom Indef, Abra Talattov, mengungkapkan dampak negatif obligasi rekap BLBI semakin terasa menggerus keuangan negara ketika terjadi defisit keseimbangan primer sejak 2012.

"Itu salah satu bukti bahwa beban bunga utang terutama utang BLBI sudah makin membengkak. Kalau tadinya kita hanya mengalami defisit fiskal yang di bawah tiga persen terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) sekarang defisit ganda.

Defisit fiskal, tambah lagi defisit keseimbangan primer," ujar Abra, di Jakarta, Rabu (7/2). Defisit keseimbangan primer artinya penerimaan negara sudah tidak mampu untuk membayar bunga utang BLBI. Makanya, Indonesia perlu berutang lagi hanya untuk membayar bunga utang lama.

Akumulasi bunga berbunga setiap tahun itu membuat utang negara kian melambung. "Akhirnya, APBN kita selalu tertekan. Pajak kita belum bisa diharapkan, sering tak capai target. Tax ratio kita masih di bawah 11 persen. Kalau obligasi rekap terus didiamkan maka akan memiskinkan rakyat," tukas dia.

Menurut Abra, kasus BLBI harus segera dituntaskan supaya beban itu tidak menjadi warisan masalah di masa mendatang. APBN harus membayar bunga obligasi rekap 70 triliun rupiah selama belasan tahun. Akibatnya, utang BLBI yang semula sekitar 670 triliun rupiah, dalam dua dekade melambung hingga lebih dari 3.000 triliun rupiah karena akumulasi bunga berbunga obligasi rekap.

Sumber Masalah

Dihubungi terpisah, pengamat keuangan dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Ahmad Iskandar, mengatakan utang pemerintah yang makin membesar menjadi bukti pengelola negara belum berhasil menjaga kekayaan alam yang luar biasa besar di Tanah Air.

Sebagai perbandingan, dalam kurun waktu sama, selama dua dekade dari 1998-2018, Indonesia terus menambah utang hingga mencapai 4.000 triliun rupiah.

Di sisi lain, Tiongkok bangkit dari kemiskinan, bahkan sekarang menjadi penyimpan devisa terbesar di dunia senilai 3,23 triliun dollar AS. Menurut Iskandar, sumber utama segala masalah di Indonesia terutama karena para pemimpin melupakan masalah fundamental negara.

Buktinya, sumber masalah keuangan nasional, yakni skandal obligasi rekap BLBI yang memberatkan, tak sekalipun disentuh oleh para pemimpin. Pengelola negara membiarkan uang negara membayar utang para konglomerat pengemplang obligasi rekap.

Sebelumnya, ekonom UMY, Ahmad Ma'ruf, mengatakan tawaran tarif pajak yang lebih rendah di AS akan mendorong banyak perusahaan AS membawa pulang dana mereka yang sebelumnya diparkir di luar negeri. Ini tentunya akan menguras likuiditas global. "Paling tidak, sumber pendanaan global akan terbatas.

Akibatnya, akan terjadi perebutan likuditas global yang pada akhirnya membentuk biaya pinjaman baru yang lebih tinggi," papar dia. Seperti dikabarkan, PBB melaporkan kebijakan repatriasi pajak Trump berpeluang membawa pulang dana sekitar dua triliun dollar AS milik perusahaan- perusahaan AS yang selama ini ditanam di luar negeri.

Reformasi pajak itu akan mengakhiri kebiasaan perusahaan menunda pajak dari pendapatannya di luar negeri hingga dana direpatriasi. Sebagai gantinya, pendapatan itu diperlakukan seperti sudah direpatriasi, dengan tarif 8 persen pajak aset dan 15,5 persen pajak tunai. Semula tarif pajaknya 35 persen. YK/ahm/WP


Redaktur : Khairil Huda
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top