Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
UU Perkawinan | Pernikahan Dini Berdampak Buruk bagi Kehidupan Pasangan

Batas Usia Terendah Perkawinan Mesti Dinaikkan

Foto : ISTIMEWA

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindingan Anak, Yohana Susana Yembise.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Batas usia terendah bagi perempuan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebaiknya dinaikkan. Ini perlu dilakukan guna mencegah perkawinan anak.

"Usia minimal 16 tahun bagi perempuan, tergolong masih usia anak atau belum dewasa," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindingan Anak, Yohana Susana Yembise, saat menjadi pembicara kunci pada Diskusi Media bertajuk "Perkawinan Anak", di Jakarta, Senin (6/8).

Yohana mengatakan batas terendah usia perkawinan pada Undang-Undang Perkawinan justru mendorong perkawinan anak, sehingga batasnya perlu dinaikkan.

Undang-Undang Perkawinan mengatur perkawinan hanya diizinkan bila laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan mencapai usia 16 tahun, serta memenuhi syarat-syarat perkawinan.

"Karena itu, penyempurnaan Undang-Undang Perkawinan terkait usia perkawinan menjadi kebutuhan yang mendesak. Perlu ada intervensi dari pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik perkawinan anak," tuturnya.

Menurut Yohana, perkawinan anak berbahaya dan merampas hak-hak anak yang seharusnya dijamin oleh negara.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) disebutkan bahwa dari empat anak perempuan di Indonesia telah menikah pada umur kurang dari 18 tahun pada 2008 hingga 2015.

Tercatat 1.348.886 anak perempuan telah menikah di bawah usia 18 tahun pada 2012. Bahkan, setiap tahun sekitar 300.000 anak perempuan di Indonesia menikah di bawah usia 16 tahun.

Dalam kunjungan kerja ke Iran, Yohana mendapat informasi kasus pernikahan anak terjadi di daerah yang rentan secara ekonomi. Hal ini juga terjadi di Indonesia, di daerah yang Indeks Prestasinya rendah juga rentan terjadi pernikahan anak. Pendidikan orang tua yang rendah juga menjadi faktor maraknya pernikahan anak.

"Kita lihat yang di Asmat saja. Di Asmat gizi buruk, menjadi akibat dari adanya pernikahan anak," kata Yohana.

Pernikahan anak juga menjadi penyebab angka kematian ibu yang sangat tinggi di Indonesia. "Stunting atau kekerdilan, dapat terjadi dari pernikahan anak, di mana mereka melahirkan bayi-bayi prematur dan kerdil. Itu semua masalah yang kita hadapi," ujar Yohana.

Dampak Buruk

Sebelumnya, Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Longki Djanggola, menyatakan nikah di bawah umur atau pernikahan dini lebih memberikan dampak buruk dalam kehidupan pasangan tersebut dalam berumah tangga.

Ia mengakui bahwa Sulteng menempati urutan ketiga secara nasional kasus pernikahan dini. Data Susenas tahun 2015 menyebutkan rata-rata anak berusia 15-19 tahun berstatus kawin dan pernah kawin. Data BKKBN Sulteng tahun 2015 menyebutkan perkawinan anak mencapai 31,91 persen.

Persentase terbesar terdapat di Kabupaten Banggai Laut sebesar 15,83 persen, diikuti Kabupaten Banggai Kepulauan 15,73 persen, Kabupaten Sigi 13,77 persen.

Kemudian, Kabupaten Tojo Una-una 12,84 persen, dan Kota Palu 6,90 persen. Adapun data BPS tahun 2016 memperlihatkan, penyumbang tertinggi adalah Kabupaten Tojo Una-una sebesar 23 persen dan Parigi Montong sebesar 22 persen.

Gubernur menguraikan bahwa di Sulawesi Tengah terdapat sebagian masyarakat (orang tua) yang menganggap bahwa cepat menikahkan anak (di bawah umur) merupakan suatu rezeki alias dapat mengurangi tanggung jawab orang tua terhadap anak. "Padahal, menikahkan anak di bawah umur sangat memberikan dampak yang buruk," tandasnya.eko/Ant/E-3

Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top