Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
FSAI

Bangun Hubungan Antar Sineas melalui Festival Film

Foto : dok.FSAI
A   A   A   Pengaturan Font

Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) kembali diadakan. Di tahun keempat ini, FSAI membawa sekitar lima film Australia dan tiga film Indonesia di berbagai kota di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya, Makassar, Bandung dan Mataram. Agendanya festival film tersebut akan berlangsung mulai 14 Maret hingga 31 Maret.

Di awal 2019, FSAI hadir dengan menampilkan filmfilm terbaik dari kedua negara, Australia dan Indonesia. Berbagai genre film panjang ditawarkan selama pemutarannya di beberapa kota itu, mulai dari genre drama, dokumenter hingga fiksi ilmiah. Tidak hanya ingin memperkenalkan film Australia yang jarang memasuki bioskop Tanah Air, FSAI merupakan peluang untuk membangun koneksi antara industri film Australia dan Indonesia. Tentunya koneksi yang terjalin dapat meningkatkan kolaborasi sineas dari kedua negara.

"Festival Sinema Australia Indonesia adalah platform yang hebat untuk menghubungkan para sineas Australia dan Indonesia," kata HE Mr Gary Quinlan, Duta Besar Australia untuk Indonesia dalam pembukaan FSAI di Jakarta.

Ia mengharapkan masyarakat Indonesia dapat menikmati festival film ini di samping ada beberapa master class yang dapat diikuti guna menambah wawasan dan ilmu mengenai industri perfilman.

Ada Paul Damien Williams, sutradara dan penulis film dokumenter Gurrumul yang akan menghadiri sesi masterclass bersama dengan Simon Wilmot dan Dr Victoria Duckett dari Deakin University, berbincang mengenai dunia perfilman dengan sineas muda.

Sementara perwakilan dari Screenwest, Badan Pendanaan dan Pengembangan Film terkemuka Australia Barat juga hadir dalam FSAI 2019. Pemerintah Australia mendukung program Australia - Indonesia Fast Track Initiative dari Screenwest, yang membuka kesempatan pertukaran antara industri film Australia dan Indonesia, serta mengembangkan sejumlah proyek yang berpotensi produksi film bersama.

Deretan film yang menghiasi FSAI tahun ini adalah Ladies in Black (2018) film drama komedi yang menceritakan tentang kehidupan karyawati di departement store. Gurrumul (2017) film dokumenter mengenai artis penduduk asli Australia. Geoffrey Gurrumul Yunupingu yang memiliki keterbatasan namun dapat menginspirasi orang melalui lagu dan musiknya. Storm Boy (2019) tentang seorang pensiunan yang menceritakan pengalaman masa kecilnya kepada cucunya.

Occupation (2018) film bergenre fiksi ilmiah tentang sekelompok orang yang bertarung melawan makhluk luar angkasa untuk bertahan hidup, serta The Song Keepers (2018) mengenai perjalanan warisan musikal bahasa Aborigin yang dilestarikan secara turun temurun oleh empat generasi penyanyi wanita.

Untuk film Indonesia sendiri, Ada Apa Dengan Cinta? (2002) dan Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016) menjadi film unggulan yang ditampilkan dalam festival film ini. Begitupun dengan The Seen and Unseen (2017) yang telah memenangkan berbagai penghargaan di festival film luar negeri.

"Film Ada Apa Dengan Cinta ini menjadi bagian dalam kurikulum bahasa Indonesia di Australia. Mereka dapat menyaksikan bagaimana bahasa dan gaya hidup di Jakarta, begitupun dengan Chairil Anwar," cerita Mira Lesmana, produser film yang juga Sahabat FSAI.

Ia mengatakan kalau kehadiran film The Seen and Unseen dirasa tepat karena film tersebut membawa sesuatu yang luar biasa untuk dinikmati para penikmat film selain dari ceritanya yang cukup unik. "Film Kamila Andini (The Seen and Unseen) juga tepat untuk dihadirkan karena hebat untuk kaliber film yang bisa dibuat dengan keindahan luar biasa dan sutradaranya perempuan," tutur Mira. gma/R-1

Tingkatkan Kualitas dan Sumber Daya

Industri perfilman Indonesia saat ini telah mengalami peningkatan, karena setiap tahunnya jumlah penonton di bioskop selalu meningkat drastis. Di samping meningkatnya angka tersebut, tentunya juga menjadi tugas para pelaku di industri film untuk turut meningkatkan kualitas film yang disuguhkan.

Namun sayangnya, di tengah peningkatan tersebut yang menjadi sulit adalah sumber daya manusia yang sedikit. "Sumber daya manusianya sudah mulai kehabisan, makanya perlu sekali. Sekolah-sekolah film yang ada juga tidak bergerak. Beberapa universitas sudah ada film studi, tetapi itu masih kurang," kata Mira Lesmana.

Maka dari itu, kegiatan seperti festival film dan masterclass sangat berguna dan dibutuhkan untuk membawa pengetahuan yang berbeda sehingga kualitas perfilman yang sudah ada dapat terus naik. Masyarakat dan sineas muda harus memanfaatkan momen-momen festival film yang ada karena tidak hanya dapat menggali ilmu atau teknologi yang terdapat pada film yang ditampilkan, melainkan juga dapat mengetahui kebiasaan dan kultur suatu negara. "Makanya festival film itu penting karena setiap negara pasti mempunyai cara bertutur yang berbeda-beda," ujar Mira. gma/R-1

Cerita Transformasi Australia

Ladies in Black merupakan salah satu film yang paling diunggulkan pada FSAI 2019. Hal itu dapat dilihat dari hadirnya film tersebut dalam penayangannya di FSAI yang akan digelar di beberapa kota di Indonesia. Menurut Quinlan, film Ladies in Black dapat merepresentasikan bagaimana Australia bertransformasi selepas perang dunia kedua. "Ini gambaran awal transformasi Australia menjadi negara yang multikultural," katanya.

Film yang dirilis 2018 ini diangkat dari novel The Women in Black karya Madeleine St John yang menceritakan karyawati-karyawati di departement store di Sydney pada 1959.

Tokohnya sendiri berpusat pada empat perempuan yaitu Lesley 'Lisa' Miles, Magda, Patty dan Fay. Keempatnya bekerja di departement store besar di Sydney bernama Goodes dan memiliki latar belakang dan permasalahan yang berbeda-beda. Lisa, anak tunggal dari keluarga Australia yang biasa saja. Ia memiliki impian besar untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun ayahnya tidak menyukai ide tersebut. Ayah Lisa lebih menginginkan Lisa bekerja setelah lulus sekolah, bukannya melanjutkan ke perguruan tinggi.

Sementara Magda adalah seorang pendatang dari Slovenia yang tinggal di Australia bersama suaminya, Stefan yang orang Hungaria. Seringkali disebut sebagai 'refoo/pengungsi' dikarenakan datang dari dataran Eropa, Magda kurang disukai oleh rekan kerjanya yang lain meskipun sebenarnya ia tidak seburuk yang mereka pikirkan. Padahal tanpa disadari, mereka yang tidak menyukai Magda juga 'pendatang', mengingat orang asli Australia adalah suku Aborigin.

Sedangkan Patty dan Fay memiliki masalah mengenai percintaan. Patty yang tidak kunjung memiliki anak dikarenakan kurangnya komunikasi dan intensitas dalam membangun hubungan dengan suaminya, Frank, merasa gelisah. Dan Fay yang memiliki masa lalu kurang menyenangkan dan menginginkan pasangan idamannya yang tidak kunjung tiba. Keempat perempuan ini memiliki persamaan, selain bekerja di tempat yang sama, yaitu menciptakan perubahan demi mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik. gma/R-1

Komentar

Komentar
()

Top