Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Neo Capella Amadeus

Balutan Nada Syahdu dalam Orkestra Klasik

Foto : dok Neo Capella Amadeus
A   A   A   Pengaturan Font

Lantunan suara lembut musik klasik malam itu teramat menyentuh, hati ini bergetar ketika terhanyut dalam alunan nada yang ramai namun tersusun rapih yang disajikan Neo Capella Amadeus persembahan Yayasan Musik Amadeus Indonesia.

Tidak banyak orkestra yang mampu memainkan karya-karya klasik yang menantang dari segi teknik dan interpretasi, apalagi orkestra anak muda. Neo Capella Amadeus adalah orkestra anak muda yang dengan konsisten menampilkan karya-karya klasik setiap tahun dan terus menantang batas diri dengan repertoar kompleks.

Dengan anggota termuda berusia 11 tahun, Neo Capella Amadeus membuktikan bahwa musik klasik bisa dibawakan generasi muda dengan energi yang tidak kalah dengan musisi-musisi dewasa, memang tak mengherankan karena Neo Capella Amadeus adalah orkes musik klasik "turunan" Capella Amadeus yang sudah dikenal sebagai orkes kamar gesek yang memprioritaskan kualitas dalam setiap pertunjukannya.

Dan benar saja lantunan karya Peter Warlock yang berjudul Capriol Suite, sebagai lagu pembuka di malam pertunjukannya di panggung teater Taman Ismail Marzuki langsung disambut gemuruh penonton, lantunan nada biola seolah bersautan, dan terdengar saling mengisi satu sama lain dengan merdunya.

Selang beberapa menit kemudian, Neo Capella Amadeus yang didominasi dengan setelan berwarna hitam elegan ini menyambung lagu kedua, kali ini mereka membawakan karya Antonio Vivaldi berjudul Concerto op.3 no.11.

Di karya itu, permainan biola terlihat sangat enerjik. Jemari orkes biola muda begerak sangat lincah, sesekali hentakan gesekan biola yang dilakukan memperkaya warna nada. Dan sepengamatan Koran Jakarta yang hadir dalam malam pertunjukan nampak, secara kemampuan para orkes muda berbakat ini tidak bisa dianggap remeh, dan mungkin mereka bisa menjadi contoh, jika menjadi tolok ukuran standar kualitas musisi klasik muda di Indonesia.

Menyambung ke karya ketiga dari Gioachino Rossini berjudul Sonata for string no.1 para penonton terdengar sangat menikmati, tak mengherankan memang karena karya ini terdengar menyenangkan, dinamika musik yang disajikan naik-turun seperti memancing imajinasi para pengunjung. Suara biola saling bersautan dengan pola serupa terdengar sangat menghanyutkan.

Selain menampilkan karya-karya terkenal, antara lain Vivaldi, Warlock, dan Mozart, Neo Capella Amadeus juga mengundang seorang solis, yakni Nino Ario Wijaya, pemain klarinet terbaik di Indonesia.

Dan benar saja ruang pementasan pun kian hikmat ketika Nino turut tampil sebagai solois clarinet dengan membawakan karya Weber berjudul Clarinet Quintet Op. 34 yang belum pernah diperdengarkan di Indonesia karena tingkat kesulitannya.

Nino yang berdiri di depan seperti menari terbawa lantunan nada, yang diiringi orkes gesek biola Neo Capella Amadeus. Secara menyeluruh mereka tampil begitu menyentuh, harmonisasi nada pun semakin kaya. Suara klarinet yang terdengar dominan dengan suara khasnya itu, menjadi suara pembeda yang menenangkan, lembut tapi tetap seimbang dengan sajian gesekan biola yang ramai. ima/R-1

Menghidupkan Musik klasik

Musik klasik identik dengan musik orang tua, kelas atas dan orang barat. Anggapan itu pun hingga saat ini masih hidup di benak masyarakat, sehingga musik klasik masih terkotakan dan terasa sulit disentuh semua kalangan.

Saat ditemui di sela konser Neo Capella Amadeus, Grace Soedargo, pendiri Amedeus Music School menceritakan Indonesia memiliki potensi penghasil musisi klasik kelas dunia.

"Hanya saja musik klasik di Tanah Air masih diidentikkan sebagai musiknya orang kaya, kaum barat dan mahal. Padahal tidak demikian, dan sudah saya patahkan," terangnya.

Pola untuk meluruskan anggapan miring musik klasik yang diambilnya saat itu ialah dengan mengajarkan anak jalanan bermain musik klasik. "Dahulu saat tampil mereka (penonton) kita sajikan musik klasik kopi dangdut, dan setelah itu baru kita masinkan musik klasik sebenarnya, dengan membawakan karya Vivaldi. Dan terbukti para penonton terdiam dan bisa menikmati, itu artinya musik ini bisa diterima sebenarnya," terang Grace.

Dan impian Grace terhadap musik klasik di Indonesia juga sangat besar, baginya setiap negara maju tidak terkecuali di Indonesia butuh kepiawaian bermain musik orchestra klasik, ini diperlukan sebagai alat komunikasi antar bangsa. "Syukurnya kita sudah mulai terbangun, tiga tahun lalu bahkan telah diakui dan mendapat support langsung dari kiblatnya musik klasik di dunia yaitu, Wina, Asutria," ceritanya.

Melalui dukungan itu, Amedeus Music School memiliki sumber daya pengajar yang sangat mumpuni, bahkan kerap mengirim guru ke Wina, ataupun Jerman untuk mendapatkan pelatihan. Kemudian kurikulum yang dihadirkan dalam sekolah musik ini juga mengikuti standar Eropa. "Amedeus memiliki standar tinggi, sehingga apa yang kami ramu seperti kurikulim misalnya sangat mumpuni, bahkan Anda bisa melanjutkan sekolah ke Eropa setelah lulus dari sini," paparnya. ima/R-1

Memupuk Talenta Muda

Grace melihat persoalan mendasar yang dihadapi musik klasik di Indonesia saat ini ialah penguatan kualitas sumber dayanya. "Saya khawatir banyak orchestra yang SDM-nya tidak mencukupi memainkan karya yang berat. Sehingga menghasilkan bunyi yang tak seharusnya karena tidak memiliki teknik. Efeknya tentu ke kenyamanan di pendengaran dan anggapan buruk soal bagaimana musik klasik di Tanah Air," tuturnya.

Grace berharap pemusik Indonesia memiliki teknik bermain musik terutama biola yang sama kemampuannya dengan pemusik bule. Dan tidak sia-sia upayanya sejak sekolah ini dirikan pada 1992 pun sudah menuai hasil positif, mereka telah menggelar konser sejak 1993 dan selalu dinanti penggemarnya. "Setiap tahun setidaknya kami mengadakan 6-7 kali konser orkestra klasik, serta beberapa home concert," imbuhnya. Dan dalam setiap konsernya, Grace tidak pernah mematok harga tiket mahal seperti umumnya konser klasik lain, hal ini penting dilakukan untuk memasyarakatkan musik klasik.

Sekolah musik Amadeus pun juga tidak mematok harga tinggi untuk para siswanya. Bahkan 30 persen dari total 300 siswanya dibebaskan dari biaya kursus terutama anak-anak kurang mampu yang ingin mempelajari musik klasik dengan serius.

"Saya sempat dicemooh karena melakukan aksi ini, terutama dengan mengajar ke daerah-daerah demi menghasilkan guru-guru musik klasik dengan teknik bermusik yang benar, ini saya rutin lakukan. Bagi saya musik klasik harus bisa dimainkan dan dinikmati siapa saja," tutupnya. ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top