Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Program Dekarbonisasi | Potensi Perdagangan Karbon Global Capai Rp11.400 T

Aturan Turunan Bursa Karbon Harus Berkualitas

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja mengumumkan akan mempersiapkan aturan teknis bursa karbon pada Juni 2023, dan implementasi bursa karbon ditargetkan berjalan pada September 2023.

Kehadiran bursa karbon telah ditunggu-tunggu karena besarnya potensi perdagangan karbon global yang saat ini menembus angka 11.400 triliun rupiah. Secara spesifik, Indonesia potensinya diramal mencapai 8.000 triliun rupiah dalam jangka panjang karena memasukkan potensi hutan dan mangrove.

Sebagai langkah mendukung tata kelola dan ekosistem pengembangan bursa karbon di Tanah Air, diperlukan berbagai muatan materi peraturan teknis OJK yang sejalan dengan payung hukum yang ada, baik Permen LHK No 21 Tahun 2022 maupun UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).

Dalam Pasal 24 UU PPSK disebutkan bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang mendapat izin usaha dari OJK. Hal ini menunjukkan penyelenggara bursa karbon idealnya bersifat terbuka asalkan mendapatkan izin OJK, tidak ekslusif hanya untuk penyelenggara bursa efek.

Anggota DPR Komisi XI, Misbakun, mengungkapkan kehadiran bursa karbon tidak bisa diserahkan ke bursa efek. Kegiatan penyelenggaraan bursa efek sangat berbeda dengan bursa karbon.

"Di mana pun di seluruh dunia, tidak ada entitas penyelenggara bursa efek yang menjadi bursa karbon. Manajemen risikonya berbeda, penilaian juga berbeda," ungkapnya dalam diskusi Menyambut Bursa Karbon: Perlunya Regulasi Mendukung Persaingan Penyelenggara yang Sehat, di Jakarta, Kamis (11/5).

Indonesia disebut memiliki potensi pasar karbon yang besar. Dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektare, Indonesia memiliki potensi besar memimpin pasar karbon yang diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon.

Perdagangan karbon menjadi salah satu cara untuk mengontrol emisi karbon di suatu negara. Pemerintah Indonesia mencanangkan target dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 sekaligus net zero emission (NZE) atau nol emisi pada 2060. Dalam dokumen NDC itu, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri, dan sebesar 43,20 persen dukungan internasional pada 2030.

Fasilitasi Penyelenggara

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebutkan kehadiran aturan teknis bursa karbon perlu memfasilitasi setiap penyelenggara yang potensial.

"Belajar dari studi kasus bursa karbon di berbagai negara, termasuk Swedia, penyelenggara bursa karbon dapat berasal dari perusahaan berbasis teknologi bukan berasal dari bursa efek, dan itu sah-sah saja. Khawatir jika aturan teknis memberikan preferensi khusus pada penyelenggara bursa efek akan menghambat inovasi pengembangan bursa karbon," imbuh Bhima.

Ketika regulasi bursa karbon berburu dengan deadline, kualitas dari regulasi tetap perlu dijaga. "Waktu yang ada hingga aturan teknis terbit pada Juni perlu dimanfaatkan OJK merumuskan sebaik mungkin kesiapan pendaftaran hingga mekanisme pengawasan bursa karbon, sehingga bursa karbon yang hadir di Indonesia dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, dan mencegah perusahaan luar negeri yang ingin melakukan greenwashing berlomba-lomba masuk ke bursa karbon Indonesia," tutup Bhima.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top