Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
GAGASAN

Aturan Pajak Penghasilan UMKM

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Pada tanggal 8 Juni 2018, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang berlaku efektif per 1 Juli 2018.

Peraturan ini mengganti PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. Dasar pertimbangan terbitnya aturan ini adalah mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk jangka waktu tertentu.

Menilik PP Nomor 46 Tahun 2013 yang berlaku secara efektif per tanggal 1 Juli 2013, dalam penerapannya memberikan suatu tantangan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Dalam PP ini tidak mengatur secara jelas sektor yang menjadi sasaran pemajakan. Hal yang diatur dalam PP ini adalah subjek pajak baik orang pribadi maupun badan tidak termasuk Badan Usaha Tetap (BUT) dengan omzet mencapai kurang dari 4,8 miliar rupiah dalam satu tahun pajak akan dikenakan pajak final sebesar 1 persen dari omzet atau jumlah peredaran usaha.

UMKM memang merupakan salah satu sektor informal yang manjadi sasaran dari terbitnya PP tersebut. Kementerian Koperasi dan UKM memperkirakan koperasi secara kelembagaan memberikan kontribusi 451.953 miliar rupiah atau 4,48 persen dari total produk domestik bruto (PDB) nasional triwulan III 2017 sebesar 10.093.300 miliar rupiah.

Kontribusi anggota koperasi terhadap PDB nasional sekitar 3.114.139,6 miliar rupiah atau 30,84persen dari total PDB nasional. Dengan demikian, total perkiraan kontribusi lembaga dan anggota koperasi terhadap PDB nasional sebesar 35,3 persen. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa potensi ekonomi penerimaan dari sektor UMKM dan Koperasi cukup tinggi, namun jumlah penerimaan pajaknya tidak sebanding.

Meskipun tujuan dari kebijakan PP ini agar Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Badan mendapatkan kesederhanaan (simplicity), namun tidak mudah pelaksanaannya meskipun terdapat tujuan lain yaitu memasukkan sektor informal kedalam sistem perpajakan. Kontribusi pembayaran pajak yang berasal dari Wajib Pajak berbentuk koperasi, usaha kecil, dan menengah tidak sebanding dengan total penerimaan pajaknya.

Meskipun diketahui bahwa jumlah koperasi, usaha kecil, dan usaha menengah di Indonesia cukup banyak dan tengah mengalami perkembangan. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman akan ketentuan perpajakan.

Tidak hanya itu, hal lainnya yang tak kalah penting yaitu belum optimalnya sosialisasi dari pemerintah mengenai fasilitas perpajakan yang bertujuan untuk mendorong usaha sektor usaha kecil dan menengah, sehingga perpajakan dalam lingkup koperasi serta usaha kecil dan menengah kurang optimal penanganannya yang kemudian berimbas bagi penerimaan pajaknya.

Kemampuan Koperasi

Bagi koperasi yang omzetnya di bawah 4,8 miliar rupiah setahun merupakan suatu hal yang harus diantisipasi mengingat kemampuan pengelolaan usaha dan manajamennya selama ini. Apalagi bagi koperasi yang memiliki usaha simpan pinjam.

Hampir di semua koperasi tersebut mempunyai permasalahan yang sama, yaitu terdapat piutang yang macet. Hal ini karena didasari bahwa koperasi merupakan suatu badan yang membantu usaha anggotanya.

Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggota atas dasar prinsip-prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional (PSAK No. 27,IAI, SAK Per 1 Juli 2009).

Pengurus atau manajemen koperasi juga harus mengerti pembukuan atau akuntansi dalam hal mempersiapkan laporan keuangan. Hal ini diperlukan mengingat pembayaran pajak 1 persen yang dibayarkan didasarkan atas omzet tiap bulan. Salah dalam memberikan data sebagai dasar omzet untuk menghitung pajaknya akan mengakibatkan kemampuan pengeloaan usaha akan terganggu terlebih dengan pengelolaan arus kas koperasi tersebut. Jika menggunakan PP 46 Tahun 2013 maka tidak ada pengakuan kerugian.

Namun, menggunakan tarif PPh pasal 17 jika terdapat kerugian maka dapat diakui dan dapat dikompensasikan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai 5 (lima) tahun pajak. Mengingat salah satu prinsip perpajakan harus adil. Maka konsep keadilan dalam penerapan aturan pajak perlu dipertimbangkan mengingat tarif pajak yang flat sebesar 1 persen bagi usaha yang peredarannya di bawah 4,8 miliar rupiah maka tidak menggambarkan kemampuan membayar (ability to pay) dari wajib pajak.

Sistem pemajakan juga harus menganut asas keadilan vertikal, dimana semakin tinggi penghasilan yang diperoleh maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayar. Meskipun akhirnya pemerintah mengeluarkan PP Nomor 23 Tahun 2018 menggantikan PP Nomor 46 Tahun 2013 untuk lebih memudahkan dan adil dalam pelaksanaannya, namun ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut. Salah satunya mengenai batasan waktu yang termuat dalam Pasal 5 Ayat 1.

Terdapat tiga pengelompokan jangka waktu berlakunya tarif final 0,5 persen jika dihubungkan dengan Pasal 10 Ayat (1), (2), dan (3). Dalam pembatasan waktu tersebut, apakah jika dalam jangka waktu rentang pengenaan tarif 0,5 persen Wajib Pajak tersebut mempunyai omzet di atas 4,8 miliar rupiah maka pembatasan jangka waktu tersebut tidak berlaku lagi. Artinya, wajib pajak tidak bisa memanfaatkan jangka waktu yang ditetapkan untuk pengenaan tarif 0,5 persen, karena dalam peraturan sebelumnya berlaku aturan yang on-off.

Selanjutnya, bagaimana jika ada Wajib Pajak yang menggunakan fasilitas dalam Pasal 3 Ayat 2 huruf a, yaitu Wajib Pajak memilih untuk dikenai Pajak penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 Ayat (1) huruf a, Pasal 17 Ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sebab, di dalam aturan itu tidak dijelaskan jika sudah memilih tidak bisa diubah untuk tahun pajak selanjutnya dikenai tarif final 0,5 persen mengingat omzet Wajib Pajak tersebut masih di bawah 4,8 miliar rupiah dalam setahun.

Terlebih jika dihubungkan dengan jangka waktu terkait Pasal 5 Ayat (1). Hal-hal tersebut di antaranya yang masih perlu menjadi perhatian dalam penerapannya. Memang di dalam PP yang baru ini lebih jelas disebutkan siapa saja yang menjadi Wajib Pajak dibandingkan dengan aturan yang sebelumnya.

Misalnya, di dalam Pasal 3 Ayat (1) huruf b dikatakan yang menjadi Wajib Pajak adalah bahwa Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas. Untuk itu, pemerintah perlu mensosialisasikan fasilitas-fasilitas perpajakan yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha koperasi dan UMKM sehingga usaha tersebut semakin berperan dalam menggerakkan roda ekonomi untuk memperkuat ekonomi formal dan memperluas kesempatan untuk memperoleh akses terhadap dukungan finansial.

Semua itu pada akhirnya sebagai wadah bagi pelaku koperasi dan UMKM mempersiapkan diri dalam melaksanakan hak dan kewajiban pajak secara umum dan sesuai dengan ketentuan pajak penghasilan.

Erwin Harinurdin, Dosen Program Vokasi Universitas Indonesia

Komentar

Komentar
()

Top