Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kebiasaan pilih-pilih makanan berdampak bagi pertumbuhan dan kesehatan. Pada anak, pendekatan positif dinilai lebih berhasil daripada menggunakan pendekatan pemaksaan, seperti yang kerap dilakukan.

Atasi Gangguan Susah Makan Perlu Pendekatan Positif

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Tidak mudah memang membuat anak mau makan apa saja yang disajikan. Apalagi dalam beberapa kasus, ketakutan kronis mereka terhadap makanan sama dengan apa yang dianggap sebagai kondisi kejiwaan yang serius, sehingga para peneliti mencari cara untuk menemukan jalan keluar.
Pada anak kebiasaan memilih-milih makanan yang dikonsumsi (picky eater) jika berlangsung dalam jangka panjang dapat mengganggu pertumbuhan dan kesehatan. Pada orang dewasa, kondisi ini bukan hanya berdampak pada penurunan berat badan namun berpengaruh buruk terhadap fungsi dasar tubuh.
Gangguan picky eater dalam tahap lanjut disebut dengan avoidant restrictive food intake disorder (ARFID). Pada kondisi ini, penghindaran pada makanan tertentu telah menyebabkan kebutuhan kalori harian dan gizi penderitanya tidak terpenuhi dengan baik.
Untuk mengetahui pendekatan yang tepat agar anak-anak mau makan, dilakukan penelitian oleh Duke Center for Eating Disorders di Duke University Medical Center di Durham, North Carolina, Amerika Serikat. Hasil penelitian terhadap orang dewasa yang pernah memiliki kebiasaan picky eater pada saat masa anak-anak, menyatakan strategi positif dari orang tua lebih baik daripada pendekatan yang memaksa.
Strategi positif dan mendorong dianggap membantu dalam meningkatkan sikap terhadap makanan dan meminimalkan ketidaknyamanan sosial di sekitar makan.
"Tidak mengherankan jika pendekatan positif disukai, tetapi yang mengejutkan betapa luar biasanya gangguan itu dialami oleh kelompok orang dewasa," kata rekan penulis studi juga profesor di Departemen Psikiatri dan Ilmu Perilaku dari Duke University Medical Center, Nancy Zucker, PhD, seperti dikutip DARI Science Daily edisi 11 November lalu.
Dalam studi bersama seorang profesor teknik elektro dan komputer di Duke's Pratt School of Engineering bernama Guillermo Sapiro, PhD itu, Zucker mengatakan bahwa konsensus luas adalah validasi untuk pendekatan pengobatan saat ini yang menekankan interaksi positif.
"Ini adalah konfirmasi kuat dan memperkuat konsep bahwa anak-anak merasa dipaksa atau ditekan untuk makan tidak akan membantu," ungkap dia.

Bantuan Kecerdasan Buatan
Survei yang dilakukan terhadap 19.200 orang yang menjadi responden survei, sebesar 75 persen adalah perempuan dan 25 persen adalah laki-laki, dan 89 persen berasal dari ras kulit putih.
Mereka diminta untuk mendeskripsikan strategi penyajian makanan yang digunakan oleh orang tua atau pengasuh mereka. Mereka juga ditanya apakah cara yang dilakukan mereka membantu atau tidak dalam meningkatkan variasi makanan.
Peserta survei kemudian diklasifikasikan sebagai kemungkinan memiliki diagnosis gangguan ARFID atau tidak, berdasarkan tingkat gangguan penghindaran makanan. Mereka yang melaporkan bahwa masalah makan menyebabkan penurunan berat badan yang signifikan, kekurangan gizi, gangguan fungsi pekerjaan dan atau gangguan hubungan sosial dikategorikan menderita ARFID.
Untuk menafsirkan hasil penelitian dan sentimen berupa membantu atau tidak, peneliti kemudian menggunakan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dengan menerapkan algoritma tertentu. Komputasi ini juga berguna dalam mengkarakterisasi manfaat yang dirasakan dari strategi pemberian makan orang tua.
"Dari segi teknis, penelitian ini menggunakan aplikasi AI untuk memahami bahasa, bukan hanya kata dan kalimat, tetapi konsep paragraf, yang sangat penting di sini. Dengan mendapatkan emosi positif dan negatif, ini memungkinkan kami untuk menganalisis ingatan komprehensif hampir 20.000 orang," kata J Matías Di Martino, Ph,D, salah satu penulis utama penelitian dari Duke's Department of Electrical and Computer Engineering.
Para peneliti menemukan, 39 persen dari tema tentang strategi pemberian makanan membantu menyebutkan konteks emosional yang positif. Strategi itu berupa mengajarkan pembelajaran budaya atau nutrisi, bersikap fleksibel terhadap jenis makanan, menyediakan variasi makanan, membantu menyiapkan makanan, atau menyajikan makanan dari kelompok makanan tertentu.
Sebesar 40 persen komentar bermanfaat mencatat pentingnya struktur di sekitar makan. Harapan yang jelas tentang makan dianggap membantu dalam konteks membedakan antara perasaan "dipaksa" versus "diminta" untuk melakukan sesuatu.
Survei menemukan beberapa makanan yang tidak disukai, bukan hanya tidak menyenangkan. Hal ini kemungkinan membuat mereka semakin merasa terjebak dan dipaksa melakukan sesuatu yang menjijikkan jika dipaksa.
"Sepengetahuan kami, tidak ada penelitian yang dipublikasikan yang mengidentifikasi strategi pemberian makan yang efektif bagi mereka yang menderita ARFID," kata Zucker. hay/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top