Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Krisis di Myanmar I Junta Tangkap 50 Pengguna Media Sosial

AS "Blacklist" Kementerian Pertahanan Junta

Foto : AFP

“Blacklist” Kemenhan I Personel militer Myanmar berbaris saat di­gelar pa­rade militer di Naypyi­daw pada Januari lalu. Pada Rabu (21/6), Kementerian Keuangan AS telah me­ma­sukkan Ke­­men­terian Per­tahanan Myanmar dalam daftar hitam sanksi.

A   A   A   Pengaturan Font

WASHINGTON DC - Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS) telah memasukkan Kementerian Pertahanan Myanmar dan dua bank yang menyediakan layanan penukaran mata uang untuk junta dalam daftar hitam sanksi.

Menurut siaran pers Kementerian Keuangan AS, sanksi tersebut, yang diumumkan pada Rabu (21/6) waktu AS, terkait dengan pembelian senjata oleh militer Myanmar dari penjual asing termasuk entitas Russia yang terkena sanksi.

"Sejak kudeta, Kementerian Pertahanan terus mengimpor barang dan material senilai setidaknya 1 miliar dollar AS, termasuk dari entitas yang terkena sanksi di Russia," lapor kementerian itu.

"Impor ini telah memberikan pendapatan ke Russia dan menyediakan akses ke peralatan militer yang telah memfasilitasi kebrutalan berkelanjutan yang dilakukan oleh militer terhadap rakyat Burma," imbuh mereka.

Daftar hitam tersebut juga melarang warga negara atau perusahaan Amerika melakukan bisnis dengan tiga entitas Myanmar, yang meliputi Bank Perdagangan Luar Negeri Myanmar dan Bank Investasi dan Komersial Myanmar.

"Kedua bank tersebut diduga telah memfasilitasi penggunaan mata uang asing rezim untuk membeli senjata," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri AS, seraya mengecam kedua bank itu karena telah menyediakan mata uang keras untuk sektor pertahanan Russia.

"Bank-bank ini juga memungkinkan perusahaan milik negara yang menghasilkan pendapatan Burma untuk dengan mudah mengakses pasar internasional menggunakan rekening luar negeri bank, menyediakan sumber daya keuangan yang signifikan bagi rezim untuk dieksploitasi untuk tujuan militer," imbuh pernyataan itu.

Pada saat bersama kantor beritaRadio Free Asia(RFA) melaporkan bahwa korban warga sipil Myanmar yang tewas telah meningkat di tengah terjadinya pembantaian oleh tentara dan bentrokan berdarah.

"Dalam sebulan hingga 15 Juni, 123 warga sipil dibunuh oleh militer di daerah konflik yang paling sengit diperebutkan di wilayah utara Sagaing, Magway tengah dan negara bagian timur Shan dan Kayah," laporRFA.

Selama periode empat pekan, pasukan junta telah membunuh 43 warga sipil di Sagaing, tujuh di Magway, 37 di Negara Bagian Shan dan Kayah, dan 28 di daerah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak etnis Karen National Union, termasuk daerah Bago dan Tanintharyi serta Negara Bagian Kayin dan Mon, serta delapan orang lainnya tewas di wilayah Mandalay dan Negara Bagian Kachin dan Chin.

Dalam lebih dari dua tahun sejak kudeta militer, pihak berwenang di Myanmar telah membunuh sedikitnya 8.640 warga sipil, termasuk lebih dari 2.400 di tengah konflik bersenjata, menurut kelompok riset independen Institute for Strategy and Policy Myanmar.

Penangkapan

Sementara itu informasi terbaru melaporkan bahwa junta yang berkuasa di Myanmar telah menangkap sekitar 50 pengguna media sosial karena posting mereka yang anti-rezim.

"Junta Myanmar telah menangkap dan menuntut 50 orang dalam tujuh hari terakhir karena mereka diduga telah memposting konten anti-rezim di platform media sosial," demikian laporan rilis berita oleh rezim militer.

Tindakan keras selama sepekan itu dimulai pada 14 Juni lalu, yang menurut pengumuman junta menyatakan bahwa mereka telah dituntut berdasarkan undang-undang antiterorisme atas komentar yang mereka buat diFacebook,TelegramdanTikTok.

Menurut angka yang dikumpulkan secara eksklusif oleh kantor berita RFAdan berdasarkan pernyataan junta, setidaknya 1.050 orang yang memposting atau membagikan ulang postingan yang dianggap anti-rezim, telah ditangkap antara Februari 2022 dan April 2023 lalu. AFP/RFA/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top