Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Air - Perlu Gerakan Lumbung Air secara Nasional

Antisipasi Krisis, Indonesia Jangan Sia-siakan Air Hujan

Foto : ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho

MANFAAT AIR HUJAN - Warga meminum air hujan siap minum di Kebun Raya Indrokilo, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat (23/3). Fasilitas air siap minum dengan memanfaatkan air hujan ini diolah dengan sistem elektrolisa yang menghasilkan air basah antara pH 7 - pH 9 dan dapat dikonsumsi langsung tersebut merupakan penerapan di fasilitas umum pertama di Indonesia.

A   A   A   Pengaturan Font

>>Pengelolaan air sungai yang langsung dilepas ke laut bukan kebijakan berkelanjutan.


>>Perbanyak waduk di hulu, selain untuk sumber air juga berfungsi menahan banjir.

JAKARTA - Sebagai upaya mengantisipasi krisis air, pemerintah mesti mengelola air secara berkelanjutan. Upaya yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan kembali air hujan sebanyak-banyaknya dengan mengalirkannya ke waduk atau lumbung air.

Selama ini, masyarakat Indonesia dinilai menyia-nyiakan air hujan yang melimpah dengan langsung mengalirkannya ke lautan sehingga malah menimbulkan banjir.


Pakar teknik kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), Muslim Muin, mengatakan setiap pembangunan perumahan harus zero run off. Artinya, air yang ditampung di atap-atap rumah setelah mengalir ke drainase lalu dialirkan ke waduk khusus perumahan tersebut.


"Di Balikpapan itu sudah dilakukan. Jadi, jangan sampai seperti di Bandung itu, balong-balong dan sawah-sawah jadi perumahan, terus banjir," kata dia, ketika dihubungi, Jumat (23/3).


Menurut Muslim, waduk atau balong selain menampung air juga menyerapkanya kembali ke dalam tanah. "Jadi, kita mulai saat ini mensosialisasikan rain harvest, lumbung air. Gunakan air hujan sebanyak-banyaknya. Untuk itu, harus ada gerakan lumbung air secara nasional," jelas dia.


Muslim menilai, kebijakan pengelolaan air sungai yang langsung dilepas ke laut bukan sebuah perencanaan untuk jangka panjang. Artinya, saat panen air ketika musim hujan tiba, air dibiarkan begitu saja mengalir ke lautan atau istilahnya run off.

"Air ada yang mengalir ke permukaan dan ada yang menyerap ke tanah. Sekarang ini karena perubahan land use, akhirnya yang banyak run off, yang mengalir di permukaan," papar dia.


Guna menanggulangi krisis air yang disebabkan derasnya aliran air ke lautan tentu harus mengurangi run off, yaitu dengan menyerapkannya kembali ke tanah atau ditampung sebagai lumbung air. "Jadi, waduk itu kan semacam lumbung air juga," kata Muslim.


Menurut Muslim, untuk bisa memanen air dengan cara menyerapkanya kembali ke tanah kurang tepat karena butuh waktu yang lama. "Seharusnya yang diperbanyak itu waduk di hulu. Selain bisa berfungsi sebagai irigasi, menahan laju air sehingga tidak terjadi banjir, waduk juga berfungsi sebagai sumber air, itu yang benar," tukas dia.


Akan tetapi, lanjut dia, masalah muncul ketika waduk yang hendak dibuat berada di wilayah yang lahannya terbatas, seperti di Jakarta. Banyak waduk yang malah ditutup dan dijadikan perumahan.


"Seharusnya waduk harus tetap waduk, sawah harus tetap sawah. Tapi, kita butuh juga lahan untuk perumahan. Nah, ketika kita bikin perumahan, ternyata yang terjadi, air dibuang jadi run off ke laut lagi," papar Muslim.


Muslim menegaskan pengelolaan air pemerintah tidak berkelanjutan. Bahkan, setiap musim hujan terjadi banjir. Hal itu tidak hanya akibat dari saluran air makin kecil, tapi tingkat run off makin besar. Artinya, walaupun diberkahi banyak air, tapi tidak dimanfaatkan, dan malah dihanyutkan ke laut.


"Jadi sekali lagi, kampanyekan gerakan lumbung air. Nenek moyang kita dulu suka menampung air di bak. Tapi sekarang ke mana kebiasaan itu, sudah nggak ada lagi, kan?" ungkap dia.


Harus Tegas


Sebelumnya, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sigit Supadmo Arif, mengatakan hampir di semua kota besar dunia ketiga mengabaikan pengelolaan air.

Setiap kali hujan, terjadi banjir, tapi jika kemarau sebentar saja, pasokan air bagi warga sulit. Hal itu terutama disebabkan oleh lemahnya negara dalam mengatur air dari hulu sampai hilir.

Di hulu, resapan berganti beton, sampah dibiarkan menumpuk di sepanjang sungai. Akibatnya, jika hujan sebentar saja warga di hilir terancam banjir dan di hulu terancam longsor.


Menurut Sigit, upaya memenuhi pasokan air bagi masyarakat harus diikuti penegakan hukum bagi warga atau institusi bisnis yang melanggar undang-undang dan peraturan daerah tentang pemanfaatan air.


Sigit yang juga pakar irigasi, lantas mencontohkan upaya petani di Kabupaten Bantul, DIY, dalam menjaga sungai dan saluran irigasi. Secara bergiliran warga Bantul membersihkan sampah dari sungai dan saluran irigasinya.


Di setiap bulan Maret, selama sebulan, warga Bantul dengan inisiatif sendiri tanpa keterlibatan negara menyelenggarakan peringatan Hari Air Dunia dengan puncak acara Mapak Toya yang berarti menjemput air.


Acara Mapak Toya berisi kirab budaya dan pesta bersama warga yang menyimbolkan bahwa air yang bersih membuat tubuh manusia bersih, juga membersihkan jiwa manusia sehingga air yang mengalir ke sawah melalui irigasi yang bersih akan menghasilkan padi yang baik.


"Padi yang baik akan membuat manusia yang makan jadi baik. Begitu seterusnya dalam kesinambungan kebaikan. Ini acara simbolik yang sudah lama mati," papar Sigit. ahm/YK/WP

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top