Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Bisnis Keluarga

Antara Tradisi, Adopsi Teknologi, dan Transformasi

Foto : koran jakarta/ imantoko
A   A   A   Pengaturan Font

Perkembangan bisnis di Indonesia mengalami perubahan seiring revolusi di bidang teknologi, salah satunya bisnis keluarga.

Perkembangan teknologi semakin mengambil peran dalam kesiapan dunia bisnis pada masa depan. Bisnis keluarga pun lambat laun kian menunjukkan peranannya, terhadap persaingan bisnis di masa depan.

Berdasarkan penelitian terbaru The Economist Intelligence Unit (EIU), yang disponsori oleh SAP menyebut 85 persen bisnis di kawasan Asia-Pasifik adalah milik keluarga dan mereka diperkirakan menghasilkan sekitar sepertiga dari total PDB nominal.

Kendati demikian, tantangan ke depan, menurut Direktur Economist Corporate Network(ECN) Rachel Morarjae, Bisnis keluarga akan terus maju dari generasi ke generasi asalkan bisa mengikuti perubahan zaman, khususnya dalam hal adopsi teknologi.

Dalam cakupan riset EIU, bisnis keluarga di Indonesia menunjukkan tingkat kepercayaan lebih tinggi terhadap kesiapan masa depan dibandingkan rata-rata negara lain di Asia Tenggara. "Bisnis keluarga Indonesia juga dinilai menjadi yang paling percaya diri pada kemampuan mereka untuk menyebarkan teknologi baru; mencetak 8,26 poin dibandingkan dengan rata-rata 7,91 poin (pada skala 10 poin, di mana skor 10 menunjukkan kepercayaan diri tertinggi) di banding negara-negara Asia Tenggara lainnya," katanya dalam media briefing bertajuk 'Tradisi, Teknologi, dan Transformasi dalam menjamin kesinambungan bisnis keluarga' di Jakarta, belum lama ini.

Secara keseluruhan, laporan tersebut menunjukan bahwa kemajuan bisnis milik keluarga cukup optimistis. Namun, temuan utamanya adalah tujuh dari sepuluh eksekutif mengakui bahwa perusahaan yang mereka kelola harus berubah agar berhasil mengatasi tantangan di tiga tahun ke depan.

Menurut Rachel, agar bisa terus memperkuat posisi mereka dalam ekonomi digital, para pemilik bisnis keluarga tak lagi hanya terus bergantung pada koneksi maupun kesetiaan pelanggan. "Bisnis keluarga dan usaha kecil menengah (UKM) perlu mempersenjatai diri pada masa depan dengan pengetahuan dan inovasi digital agar dapat bersaing di kancah internasional," imbuh Rachel.

Pada kesempatan yang sama, Managing Director SAP Indonesia, Andreas Diantoro menambahkan transformasi digital saat ini telah menjadi keharusan untuk semua jenis bisnis, tak peduli ukuran ataupun area industrinya. Oleh karena itu, bisnis keluarga di Indonesia perlu untuk merangkul pergerakan digital guna meningkatkan inovasi dan daya saing.

Menyongsong Generasi Canggih

Adopsi teknologi adalah kunci untuk menggapai kesuksesan, bahkan melalui penerapannya, akan berdampak luas ke banyak bisnis dari berbagai sektor, mengingat semakin banyak perusahaan berbasis internet yang menyaingi perusahaan konvensional.

Andreas melihat secara perlahan perusahan keluarga di Indonesia sudah mulai mengadopsi teknologi supaya dapat bersaing dengan perusahaan global maupun multinasional.

Kemajuan itu rata-rata dimiliki perusahaan keluarga yang dikelola generasi kedua dan ketiga, di mana mereka sudah modern dan mempunyai pandangan soal strategi bisnis melalui penerapan teknologi.

"Kalau dulu generasi pertama tidak pernah terpikirkan soal teknologi karena fokusnya adalah produksi. Tidak terlalu memperhatikan dari sisi teknologinya. Tetapi generasi kedua dan ketiga, dari mulai periode 5 tahun ke atas, hingga saat ini sudah mulai menerapkan teknologi. Solusi-solusi yang diaplikasikannya sudah bisa diintegrasikan dengan Artificial Intelligent (AI). Mereka pada umumnya memiliki smart dynamic data," jelas Andreas.

Jika itu terus dilakukan, generasi ketiga pemilik bisnis keluarga yang lahir di tengah perkembangan teknologi, nantinya akan terus mampu memberikan inovasi dan teknologi baru yang penting dalam kemajuan bisnisnya.

Sejauh ini SAP memiliki sekitar 5.000 solusi perangkat lunak yang disiapkan untuk membantu perusahaan melakukan transformasi digital. "Sebanyak 80 persen perusahaan di Indonesia sudah mengadopsi solusi SAP. Macam-macam solusi yang diadopsi. Tetapi pada umumnya mereka mengadopsi solusi ERP, sebagai tahap awal, untuk melangkah ke solusi yang lebih canggih lagi," kata Andreas.

Garis besar bisnis yang menggunakan solusi dari SAP di Indonesia yaitu sektor profesional services sebesar 13 persen, customer services 11 persen, Wholesale services 10 persen, sektor furniture 7 persen, serta sektor retail 6 persen.

Kemudian dari sektor UKM, perusahaan segmen kelas menengah ini juga memiliki potensi besar untuk berkembang. Bahkan, sebanyak 75 persen perusahaan UKM di Indonesia juga sudah mengadopsi solusi SAP.

"Untuk tujuan ini kami menawarkan portofolio solusi yang mendukung UKM dengan berlandaskan aspirasi transformasi digital. Untuk solusi UKM, kita juga menyediakan solusi aplikasi yang bersifat on premise tetapi juga cloud. Berbagai pilihan kita sediakan sesuai skala kebutuhan UKM," tegas Andreas.

Kelas Menengah Semakin Berdaya

Sementara itu, bisnis di era teknologi sejauh ini mampu menjadi solusi masyarakat atas minimnya lapangan pekerjaan. Platform sosial media, Facebook dalam studinya bersama Bain & Co mengenai dampak teknologi digital terhadap kelas menengah di Indonesia menunjukan, betapa berdayanya masyarakat kelas menengah melalui pemanfaatan teknologi dan sosial media untuk kepentingan bisnis.

Ninda, ibu rumah tangga asal Malang, Jawa Timur merupakan salah satu contoh kelas menengah yang sukses menggunakan teknologi digital untuk membuka toko online di Instagram, Shopee, dan Bukalapak untuk mempromosikan produk fesyen miliknya.

Begitu juga dengan Fadli, pengusaha kue kering asal Surabaya yang memanfaatkan Facebook dan Instagram untuk memasarkan produknya. Bahkan mantan karyawan di bidang pemasaran itu kini mengaku sedang fokus mendapatkan lisensi makanan agar bisa menjual produk kuenya di supermarket.

Leader of Bain's Digital Practice for APAC, Florian Hoppe menjelaskan, jumlah masyarakat kelas menengah di Indonesia diprediksi akan bertambah hingga 180 juta orang pada 2022. Angka ini hampir setengah dari total 350 juta orang kelas menengah di Asia Tenggara.

Dengan potensi itu masyarakat kelas menengah diprediksi bisa menjadi penggerak ekonomi walaupun ada sejumlah tantangan yang harus ditangani pemerintah.

"Misalnya, soal infrastruktur logistik yang harus terus ditingkatkan dan memberikan akses kepada masyarakat terhadap sistem pembayaran nontunai yang lebih baik. Ini karena masih banyak masyarakat yang belum mendapatkan layanan perbankan dan masih banyak yang menggunakan transaksi tunai," kata Hoppe.

Presiden Direktur dan CEO Havas Indonesia, Anwesh Bose, pada kesempatan yang sama mengatakan beberapa merek lokal saat ini mampu beradaptasi lebih cepat dibandingkan merek atau perusahaan luar negeri yang masuk ke Indonesia.

"Saya pergi ke Toraja hingga ke Pare-pare dan melihat masyarakat memanfaatkan teknologi digital untuk memasarkan bisnisnya. Ini berarti teknologi memberikan kesempatan yang sama bagi mereka yang memiliki ide-ide bagus," pungkas Anwesh.

ima/R-1

Komentar

Komentar
()

Top