Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kinerja Ekonomi - Pertumbuhan Tak Berkualitas Memperburuk Ketimpangan

Andalkan Sektor Konsumsi, Pertumbuhan Tak Berkualitas

Foto : koran jakarta /ones
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terlalu mengandalkan konsumsi dinilai tidak berkualitas dan tidak berkelanjutan. Apalagi konsumsi tersebut banyak berasal dari impor, seperti pangan dan otomotif, yang dibiayai dari utang.

Sebab, ketika keuangan negara makin tipis akibat terkuras untuk membiayai impor dan kewajiban utang maka pertumbuhan ekonomi cenderung melambat sehingga kehilangan kemampuan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.

Pengamat ekonomi dari Unair Surabaya, Karyadi Mintaroem, mengungkapkan selama ini sekitar 50 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh sektor konsumsi.

Akibatnya, ketika konsumsi tersendat saat daya beli turun, pertumbuhan pun cenderung melambat. "Ini yang mulai terjadi pada kuartal kedua tahun ini.

Ketika konsumsi rumah tangga stagnan, pertumbuhan pun tersendat," papar dia, ketika dihubungi, Selasa (8/8). Karyadi menambahkan konsumsi yang lebih banyak berasal dari impor dan utang pada akhirnya akan menguras keuangan negara.

Belasan tahun Indonesia memboroskan dana untuk konsumsi yang tidak produktif, contohnya impor pangan dan otomotif (komponen motor dan mobil).

"Selain itu, APBN juga mesti menanggung beban utang tak produktif seperti utang obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), serta belanja rutin yang besar untuk pegawai negeri," jelas dia.

Kondisi itu, lanjut Karyadi, masih diperparah dengan penyaluran kredit perbankan yang juga condong ke sektor konsumsi, bukan sektor-sektor yang produktif, seperti untuk kredit properti yang hingga kini outstanding-nya mencapai hampir 800 triliun rupiah.

"Padahal, jika dana pembangunan lebih diarahkan untuk sektor produktif, seperti industri dan pertanian maka pertumbuhan akan berkualitas dan berkelanjutan. Sebaliknya, kredit properti yang spekulatif berpotensi bubble dan bisa memicu krisis seperti pada 1997," tukas dia.

Di sisi lain, menurut dia, sektor produktif itu akan menciptakan lapangan kerja lebih banyak sehingga bisa mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.

"Kita selalu disuguhi pernyataan bahwa perekonomian baik-baik saja. Tapi, sesungguhnya utang semakin membengkak, perdagangan domestik kalah dengan produk impor, dan lapangan pekerjaan kian susah," jelas Karyadi.

Sebelumnya dikabarkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2017 yang tidak beranjak dari angka yang dibukukan pada kuartal I-2017, yakni sebesar 5,01 persen dinilai mengindikasikan bahwa perekonomian nasional sedang tidak sehat.

"Pertumbuhan ekonomi stagnan atau tidak mengalami perubahan. Memang belum menuju krisis, ekonomi hanya sedang lesu," kata ekonom Indef, Bhima Yudhistira.

Pengamat ekonomi, Abra Talattov, mengatakan bila melihat kinerja ekonomi kuartal II-2017, target pertumbuhan 2017 sebesar 5,2 persen sangat sulit dicapai.

Alasannya, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi, mulai tersendat. Ini mencerminkan daya beli masyarakat yang makin melemah.

Ketimpangan Menganga

Berdasarkan profil pertumbuhan menurut lapangan usaha, ekonom senior, Faisal Basri, memaparkan sektor-sektor yang tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) semuanya adalah sektor jasa.

Rekor pertumbuhan tertinggi masih tetap dipegang oleh sektor informasi dan komunikasi. Sektor ini kembali tumbuh dua digit setelah dua tahun berturut-turut sebelumnya tumbuh di bawah 10 persen.

"Tak ayal, mayoritas sektor jasa yang tumbuh relatif tinggi membuat kesenjangan pertumbuhan antara sektor tradables (penghasil barang) dan nontradables (penghasil jasa) kembali kian menganga," ujar dia.

Menurut Faisal, bagi Indonesia yang pendapatan per kapitanya masih di bawah 4.000 dollar AS dan mayoritas pekerjanya berpendidikan SLTP ke bawah, pola pertumbuhan seperti itu kurang berkualitas dan bakal memperburuk ketimpangan pendapatan.

"Tiongkok saja yang pendapatan per kapitanya sekitar dua kali Indonesia, sumbangan sektor tradable-nya masih relatif tinggi," tutur dia. Pertumbuhan sektor tradable yang tinggi berpeluang menciptakan lapangan kerja yang lebih besar, sehingga bakal menopang daya beli masyarakat serta mengurangi kemiskinan. SB/ahm/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top