Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Kesejahteraan Warga I Asia Tenggara dan Pasifik Alami Kekurangan Gizi

30 Persen Balita Indonesia Tumbuh Kerdil

Foto : ISTIMEWA

SUROKIM ABDUSSALAM Pengamat masalah sosial dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) - Tidak bisa ditunda-tunda lagi. Harus ada peta jalan keluar terkait pembayaran beban bunga ini. Apalagi pembebanan ini menganggu dan menghambat pembiayaan sektor strategis tadi. Hal ini tidak boleh terulang lagi dan harus dijadikan pengingat bagi semua.

A   A   A   Pengaturan Font

» Subsidi yang diciptakan ke orang kaya melalui pembayaran bunga obligasi rekap BLBI telah membuat satu bangsa dimiskinkan karena malnutrisi.

» APBN jangan dijadikan sapi perahan untuk menopang beban- beban konyol seperti obligasi rekap BLBI yang menzalimi rakyat.

JAKARTA - Sebanyak 30 persen bayi di bawah lima tahun (Balita) di Indonesia dilaporkan tumbuh kerdil atau stunted karena kekurangan gizi sejak mereka di dalam kandungan. Bahkan 21,9 juta keluarga Indonesia teridentifikasi beresiko stunting.

Kurangnya asupan gizi baik pada ibu hamil maupun pada anak-anak usia dini karena belum adanya program untuk mensejahterakan rakyat karena anggaran pemerintah yang terbatas.

Ketiadaan program akibat keterbatasan anggaran tersebut menyebabkan penduduk miskin turun temurun. Keterbatasan anggaran sebenarnya bisa diatasi kalau pemerintah punya kemauan untuk menghentikan subsidi kepada konglomerat dan beberapa orang kaya tertentu yang menikmati bunga obligasi rekap BLBI setiap tahun sebesar 400 triliun rupiah.

Subsidi yang diciptakan ke orang kaya tersebut telah membuat satu bangsa dimiskinkan karena malnutrisi. Setiap tahun belanja negara terkuras untuk membayar bunga utang yang bunga berbunga dari penerbitan obligasi rekap BLBI.

Baca Juga :
Vitamin A Bagi Balita

Pengamat masalah sosial dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam mengatakan, penggunaan APBN yang sangat besar untuk membayar bunga obligasi rekap BLBI telah menjadi beban pemberat dan menjadi batu sandungan dalam memaksimalkan potensi anggaran pada sektor-sektor strategis.

"Pembiayaan sektor-sektor strategis seperti kesehatan terpaksa harus direlakan agar bisa refocusing pada pembayaran bunga utang. Ini sungguh menyesakkan dan menjadi preseden buruk pada APBN kita. Padahal sektor kesehatan anak dan remaja adalah sektor strategis, penting dan urgent serta menjadi investasi immaterial berharga untuk sekarang dan juga ke depan secara berkelanjutan," kata Surokim.

Mengingat pentingnya anak sebagai generasi penerus bangsa, maka penggunaan belanja negara untuk mensubsidi konglomerat melalui obligasi rekap harus dihentikan.

"Tidak bisa ditunda-tunda lagi. Harus ada peta jalan keluar terkait pembayaran beban bunga ini. Apalagi pembebanan ini menganggu dan menghambat pembiayaan sektor strategis tadi. Hal ini tidak boleh terulang lagi dan harus dijadikan pengingat bagi semua," katanya.

Pemerintah jelasnya harus mencari formula sebagai jalan keluar agar beban yang selama ini menyandera APBN bisa diatasi dan dialihkan untuk membiayai program-program kesejahteraan masyarakat, termasuk menurunkan angka stunting.

"APBN jangan dijadikan sapi perahan untuk menopang beban-beban konyol seperti itu. Sungguh itu menzalimi rakyat," tegasnya.

Kekurangan Gizi

Wilayah Asia Tenggara dan Pasifik sendiri dilaporkan hampir setengah dari individu, di seluruh dunia, memiliki beban tiga kali lipat kekurangan gizi, ditandai dengan koeksistensi kekurangan gizi, kelebihan berat badan, dan kekurangan zat gizi mikro.

Secara global, tingkat kelebihan berat badan telah meningkat paling cepat di wilayah ini. Perubahan pola asupan makanan, seperti peningkatan konsumsi makanan olahan yang tidak sehat dan penurunan aktivitas fisik yang terkait dengan industrialisasi dan urbanisasi, diketahui telah berkontribusi pada peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas Pada saat yang sama, masalah kekurangan gizi tetap tak terkalahkan.

Indonesia adalah contoh utama dari tiga beban malnutrisi. Sekitar 1 dari 3 anak usia di bawah 5 tahun mengalami stunting, dan 1 dari 10 anak mengalami wasting, sedangkan 8 persen lainnya mengalami kelebihan berat badan.

Remaja Indonesia termasuk yang paling terdampak, dengan sekitar 1 dari 4 remaja putri mengalami anemia, sedangkan hampir 1 dari 7 remaja kelebihan berat badan atau obesitas.

Beban tiga kali lipat kekurangan gizi di Indonesia dikaitkan dengan peningkatan harapan hidup karena pergeseran beban penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular.

Perkembangan ekonomi yang pesat disertai dengan peningkatan ketersediaan pangan, khususnya pangan olahan yang tinggi lemak dan banyak kota tidak ramah pejalan kaki dan aktivitas fisik kecil lainnya.

Sebelumnya, Pakar Kependudukan dari Univeristas Gadjah Mada (UGM), Sukamdi, mengatakan dengan angka stunting saat ini yang sangat besar maka hampir 25 persen jumlah kelahiran bayi Indonesia di masa depan akan bermasalah.

Biaya besar yang dikeluarkan pemerintah pun cenderung akan sedikit hasilnya karena bayi yang mengalami stunting punya banyak keterbatasan untuk tumbuh baik secara fisik maupun intelektual yang pada akhirnya, sulit bersaing dengan SDM negara tetangga.

Sampai saat ini, beberapa kebijakan dan program yang menargetkan untuk mengatasi beban kekurangan gizi di Indonesia, khususnya di kalangan remaja belum terealisasi.

Selain itu, layanan perawatan kesehatan tidak dilengkapi dengan baik untuk menangani kelebihan berat badan dan obesitas, mulai dari layanan untuk menyaring, mendiagnosis, dan mengobati kelebihan berat badan dan obesitas sebagian besar kurang.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top