Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Penurunan Muka Tanah I Perlu Upaya Mitigasi dan Adaptasi Komprehensif yang Bersinergi

24,3 Persen Wilayah DKI Bakal Terendam pada 2050

Foto : ANTARA/Aprillio Akbar

Warga memompa air tanah di kawasan Petamburan, Jakarta, Rabu (6/10/2021). Pemerintah akan menghentikan penggunaan air tanah di DKI Jakarta dan sekitarnya yang bertujuan untuk mengurangi penurunan muka tanah di Ibu Kota.

A   A   A   Pengaturan Font

Pada 2050 dipre­diksi seliah 24,3 persen wilayah DKI ­Jakarta terendam akibat kenaikan muka air laut.

JAKARTA - Beberapa lokasi di DKI Jakarta diprediksi terendam pada 2050 akibat penurunan muka air laut atau land subsidence. Meski demikian, tidak sepenuhnya wilayah Jakarta akan tenggelam.
"Pada 2050 air laut memang belum menyentuh kawasan Monas. Jadi kalau dari pengaruh kenaikan muka air laut itu kecil tentunya," kata Profesor Riset bidang Meteorologi Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan dalam webinar Nasional Prof Talk: Benarkah Jakarta dan Pantura Akan Tenggelam? di Jakarta, Rabu (6/10).
Eddy menuturkan jika hanya melihat faktor kenaikan muka air laut, maka pada 2050 air laut memang masuk ke daratan tapi belum menyentuh kawasan Monas, yang berarti tidak menenggelamkan Jakarta.
Berdasarkan hasil proyeksi, pada 2050 kenaikan muka air laut akan membanjiri daerah Jakarta seluas lebih kurang 160,4 kilometer persegi atau 24,3 persen dari luas total daerah itu. Air laut masuk ke wilayah antara lain Tanjung Priok, Pluit, Pademangan, Kapuk dan Penjaringan.
Justru, Eddy menuturkan faktor lain yang agak berbahaya adalah penurunan muka tanah terutama di daerah yang bertanah lunak tidak hanya di Jakarta tapi di sepanjang Pantura. Itu akan meningkatkan risiko lebih banyak air laut yang masuk ke daratan. "Kalau hanya basisnya kenaikan air muka laut, itu tidak terlalu berdampak serius. Bahaya utama yang terjadi di kawasan pantura khususnya Jakarta dan kawasan sekitarnya adalah penurunan muka tanah," ujarnya.
Dia menyebut Indonesia belum mampu memprediksi atau memproyeksi laju penurunan muka air laut hingga tahun 2050.
Meski begitu, Eddy menyebut hasil dari penginderaan jauh LAPAN pada tahun 2020 menunjukkan adanya tiga lokasi yang mengalami penurunan muka air laut. Ketiga lokasi tersebut, yakni Pekalongan, Semarang, dan Jakarta. "Untuk DKI data penurunan tanah tidak signifikan antara 0,1-8 cm. Yang sangat besar Pekalongan sekitar 2,1-11 cm per tahun," terangnya.
Eddy mengatakan fenomena SLR (sea level rice atau laju kenaikan rob) sulit dibendung. Berbeda dengan land subsidence yang bisa dihentikan. Dia mengatakan hanya satu cara menyelamatkan Jakarta dan Pantura yakni dengan menekan semaksimal mungkin kerusakan lingkungan di sepanjang pesisir Pantura.
Dia menambahkan unguk mengantisipasi rob dalam jangka panjang tidak cukup hanya pembangunan tanggul raksasa. Menurutnya, untuk penanggulangan sementara, barang kali tidak masalah. "Perlu dikembangkan masak-masak pembuatan bitting gesik dan hutan mangrove karena telah terbukti cukup efektif dalam meredam laju masuknya rob ke daratan," tandasnya.

Kombinasi Konsep
Profesor Riset bidang Geoteknologi dan Hidrogeologi BRIN Robert Delinom mengatakan memang ada potensi Jakarta tenggelam, tapi tidak dalam waktu dekat. "Jakarta dan Pantura bisa tenggelam tapi tidak pada kurun waktu yang segera, jadi mungkin lama nanti setelah berapa tahun. Kita lihat tadi dalam 30 tahun masih sampai 2 meter," ujarnya.
Robert menyarankan perlunya upaya mitigasi dengan melakukan pembangunan "pertahanan" di garis pantai, pembangunan "pertahanan" di sungai dan bantarannya, membuat "tempat parkir air" dan mengantisipasi penyebab penurunan tanah.
"Perlu ada kombinasi konsep mitigasi dan adaptasi yang tidak tumpang tindih, zero run off dan no land subsidence city, serta merubah pola pikir masyarakat," katamya.
Sementara itu, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, mengatakan pandangan dua pakar ini menjadi langkah awal membuka komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan dari sisi regulator dan masyarakat. Sehingga pembahasan dapat lebih detail dan menyamakan persepsi terkait laju penurunan permukaan tanah.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Muhamad Ma'rup

Komentar

Komentar
()

Top